Lelaki Sayap Patah (atau
Kisah Perempuan Kasut Putih)
Cerpen: Ucu Agustin
Lelaki
itu menghentikan usapan kuas pada kanvas. Hujan di luar makin menderas.
Derainya membuat ia ingin menjelma kapas, melayang di udara, menari bersama
dingin cuaca. (Sudah berapa lama ia tak menari?)
Beberapa
bulir kaki hujan yang bening keperakan, jatuh terlambat di teras halaman.
Membuat hujan kecil yang telat mendarat itu malu dan langsung menyembunyikan
wajahnya yang sumringah. Ngumpet di bawah serat lantai yang telah aus jengah.
Dan rinai hujan yang teratur turun diagonal?
Lelaki
itu ingin menariknya. Menjadikan rinai hujan sebagai tirai untuk jendela dalam
lukisannya. Supaya lelaki dan perempuan telanjang yang berpelukan di sana tidak malu saat
diintip rembulan. Membuat manis interior ruang dalam lukisan. Tapi bagaimana
kalau mereka kebasahan?
Mungkin
lebih baik kalau rinai hujan ditaruh di halaman belakang. Dekat bunga Lily dan
sekumpulan Pakis bersekongkol, membuat gosip murahan. Perselingkuhan tukang
kebun dan pembantu tetangga sebelah. Ada
kolam kecil di sana.Tempat lelaki dan perempuan telanjang yang berpelukan dalam
lukisan biasa menikmati sore. Rinai hujan pasti manis bila jatuh ke kolam
kecil. Bersuka cita melakukan reuni keluarga air.
Namun
tangan lelaki itu tak kunjung mengusapkan apa pun. Kanvasnya tetap diam,
kuasnya tetap di tangan dan cat warna yang beberapa di antaranya telah diaduk
rata perlahan mulai menjadi satu, kembali kental menuju beku.
Lama
lelaki itu memandang keluar. Jauh menembus pahatan hujan yang bergulir deras
pada kaca jendela yang transparan. Bahkan hujan kini tak bisa lagi
mengobatinya. Tubuhnya seolah telah menyerap penyakit itu. Perih yang telah
lama membuatnya merasa mati. Aku tak seharusnya berada di sini. Aku tak bisa
melakukan ini lagi. Keluh si lelaki dalam hati.
Padahal
perempuan-perempuan yang keluar dari jemarinya telah mampu membobol kanvas.
Berubah menjadi penari, bermetamorfosa menjadi malaikat-malaikat kecil sendu
berwarna abu-abu. Sebagian dari mereka juga telah menjadi kupu. Menghirup madu
dan menghinggapi lukisan bunga yang dulu dicatnya dengan warna merah. Dalam
kanvas, kelopak-kelona bunga itu terlihat seolah benar-benar merekah.
Sulur-sulur batang daunnya menggembung, berwarna hijau mengilat dan tampak
subur. Padahal lelaki pelukis itu tak pernah menambahkan apa-apa. Tak seorang
pun merawatnya. Hanya debu saja yang mungkin memupuki lukisan itu sambil lalu,
memercikkan partikel kotoran dan lantas entah dengan cara apa, membuatnya
tampak seolah benar-benar sedang tumbuh betulan. Bunga yang hidup dalam
lukisan.
Lelaki
itu tiba-tiba terkesiap. Bukan disentakkan pikiran tentang kemungkinan ada
kehidupan di balik dunia kanvas, hingga ia mungkin harus melakukan penelitian.
Sebuah ekspedisi ke dunia gambar. Tidak. Sama sekali bukan.
Tapi
pemandangan di luar rumah. Perempuan dalam hujan?
Mata
lelaki itu tak sedikit pun mengerjap.
Di
ujung jalan sedikit terhalang belokan, perempuan itu berdiri. Rambutnya kuyup
dan sepatu putih yang pasti dikenakannya, entah telah berwarna apa.
Perempuan
berkasut putih. Itu pasti dia!
Lelaki
itu menatap tak percaya. Itukah dia?
Itu
memang julukannya. Perempuan berkasut putih. Bermula dari perkenalan di sebuah
toko sepatu di masa kecil, berakhir pada penyesalan mendalam yang masih basah
dan sama sekali belum selesai di dadanya. Tidak cair diguyur air. Tidak tuntas
setelah tahun-tahun meretas. Adakah hal yang benar-benar tuntas?
Lelaki
itu ingin berlari menyongsong si perempuan. Tapi hujan seolah melarang. Suatu
kepedihan bernuansa melankolis menaburi hati si lelaki dan membuatnya tiba-tiba
ingin menangis. Perempuan itu. Perempuan berkasut putih?
*
* *
"Jepit
rambutmu berkarat," ucap si lelaki.
"Lukisanmu
abadi. Aku ingin berada di sana ,"
ucap si perempuan.
"Jepit
rambut dan kasut putihmu yang nanti akan dominan di sini," si lelaki
mengusap kanvas.
"Kenapa?"
si perempuan mengurai rambut panjangnya.
"Tidak.
Sepertinya bagus saja. Kasut putih dan jepit emas berkarat." Lelaki itu
tetap pada kanvasnya.
"Tetapi
sebentar lagi pikiranmu pasti berubah." Perempuan itu tersenyum, lantas
begitu saja berlari ke kamar mandi. Lelaki pelukis mengendikkan bahunya.
Menunggu apa lagi ulah yang akan dilakukan perempuan kasut putih itu, kini.
Masa
kanak, tugas orang tua, perpindahan antarkota, perpisahan masa kecil. Bertemu
kembali saat SMA, si lelaki jatuh cinta, si perempuan telah punya pacar. Masa
kuliahan, kelulusan. Mereka tidak satu kampus tapi si perempuan kerap menggoda.
Si lelaki kerap menyatakan cinta, tapi semuanya selalu saja berakhir sama; penolakan
halus dengan janji akan terus menjadi teman. Tak akan berubah.
Perempuan
itu menjadi pramugari, si lelaki menjadi pialang saham kemudian menekuni
lukisan. Segala hal berubah, tentu saja keduanya juga turut menjadi bagiannya,
kecuali sepatu putih di kaki si perempuan. High heels, sepatu olahraga,
steleto, sepatu runcing, sandal, sepatu gunung. Aneka suasana. Aneka merek.
Selalu putih. Putih di bagian bawah. Apa pun atasannya, hanya warna putih alas
kakinya.
"Karena
aku pemuja sepatu dan aku tak bisa menjadi Hermes," ucapnya suatu hari,
membocorkan rahasia.
"Apakah
kau ingin memiliki kemampuan untuk terbang?" si lelaki tertawa
mendengarnya. "Seperti kanak saja."
"Kau
pikir kenapa aku menjadi pramugari? Tanpa alasan?" si perempuan ikut
berderai.
Maka
lelaki itu pun berada di studionya selama tiga hari. Lantas keluar dengan
membawakan hadiah lukisan untuk si pramugari. Sepatu Hermes. Kasut putih
bersayap yang pernah dipinjam Perseus dari Hermes sewaktu menjalankan misi
memenggal kepala Medusa yang ditumbuhi ular berbisa. Membuat putra Danae dari
Zeus itu bisa terbang meski tak bersayap. Melumpuhkan perempuan jahat Medusa
-penguasa Pulau Samos, dalam sekali tebas. Menyelamatkan rakyat dari pandangan
mata perempuan berrambut ular yang bisa membuat manusia menjadi batu dalam satu
tatap saja.
Perempuan
itu girang bukan kepalang. Menghadiahi sahabatnya si lelaki pelukis dengan
surprise "one night stand". Semalaman mereka bercinta sampai bulan
menjadi malu dan urung mengintip melalui cahaya yang menjilati kaca jendela.
Membuat si lelaki semakin kepayang dan tak bisa lagi memindahkan hatinya.
Memutuskan untuk menetap di hati perempuan kasut putih meski ia tahu si
perempuan cuma senang bermain-main dengannya serta tak bisa menetap di satu
hati lelaki saja.
Dan
beberapa bulan kemudian, perempuan itu berada di studionya. Entah apa yang
sekarang tengah dilakukannya di dalam kamar mandi sana . Bisakah kau menebaknya?
Tentu
saja tebakanmu benar. Perempuan kasut putih itu keluar tanpa sehelai pun
benang. Picasso, Da Vinci, bahkan Jack Dawson, buruh manis asal Irlandia yang
diperankan Leonardo Di Caprio dalam Film Titanic pun melakukannya. Semua
melakukannya. Kenapa pelukisnya tidak?
Perempuan
itu ingin mengabadikan detail tubuhnya. Ia ingin mengabadikan detak kecil janin
yang bersemayam dalam perutnya. Ibu dan sang anak yang belum lagi ada. Kanvas
adalah ranjang yang nyaman untuk rumah sementaranya, demikian bisik perempuan
kasut putih. Dan si lelaki pelukis hanya bisa menahan kejutnya, sama sekali tak
menyangka ada bukit mungil di atas perut mulus sang perempuan pujaan.
"Berapa
bulan?" tanya si lelaki.
"Menjelang
tiga. Belum kelihatan kan ?"
balas si perempuan dengan tatap mata semakin nakal.
Malam
itu mereka tak bercinta. Perempuan kasut putih pulang. Lelaki pelukis berhasil
menyelesaikan sketsa untuk sementara. Coretan seorang perempuan, mengenakan
sepatu bersayap, memeluk bayi transparan yang muncul dari perut putihnya yang
sedikit membukit.
Ketika
pamitan, perempuan kasut putih bilang, "Kita sepertinya akan berbahagia
setelah ini. Aku telah membuat keputusan. Kau masih ingin aku bersamamu?
Keputusanku sepertinya akan menguntungkanmu." Hanya itu. Lantas perempuan
itu pergi sambil membawa senyum penuh misteri. Meninggalkan teka-teki rumit di
kepala lelaki pelukis. Apa maksudnya? Apa maksud ucapanmu barusan, wahai
perempuan berkasut putih?
*
* *
Hujan
berderai. Sore terasa panjang bagi si lelaki pelukis. Tak ada kabar. Jam
semakin merambat, sketsa sementara yang kemarin telah dibuat telah pula ia
selesaikan. Garisnya kini semakin tajam.
Pukul
sepuluh malam. Hujan di luar tak kunjung menipis. Hujankah yang membuat
perempuan berkasut putihnya terhalang? Mengapa telepon selularnya tak
diaktifkan? Ah sudahlah?
Lelaki
pelukis memandang sketsanya. Terlihat jelas di hadapannya perempuan itu.
Perempuan yang bagai permen Poprock di masa kecilnya. Bila kau menyesapnya,
maka suara seperti ledakan lembut kembang api akan muncul di lidahmu diiringi
sensasi aneka rasa manis-asam-asin yang membuatmu merasa
sedih-riang-galau-gembira pada saat yang sama. Permen yang menendangmu dengan
aneka rasa superdupper, meninggalkan aneka warna hijau merah kuning biru yang
terus melekat di lidahmu. Tak kunjung hilang kecuali bila kau menggosok gigi,
menjelang tidur waktu malam.
"Aku
jarang gosok gigi malam," sekonyong suara itu muncul begitu saja. Dibawa
angin. Dibawa guyuran hujan yang semakin deras di luar. Seolah mengetahui
dengan pasti apa yang berkelindang dalam pikiran si lelaki. Pelukis itu
menoleh. Tak salah lagi. Perempuan berkasut putih!
Tak
ada suara pintu terbuka, tapi perempuan itu telah berdiri di sana . Hujan di luar kini terdengar seperti
orang murka, tapi kasut perempuan itu tampak tak basah. Hanya saja ada sesuatu
yang berbeda di wajahnya; pandangan mata sedih yang tak biasa disuguhkan
perempuan berkasut putih.
"Hai!"
Lelaki pelukis tersenyum, "Akhirnya tiba juga," wajahnya terlihat
lega. Perempuan berkasut putih mendekat, tapi lantas berhenti. Ada jarak dua puluh senti terentang antara
keduanya.
"Aku
pasti memenuhi janji. Aku pasti datang menemuimu, malam ini," Perempuan
itu memandang si lelaki dengan sedih. "Aku juga pasti akan mengisi
kanvasmu. Kau ingat? Aku selalu ingin berada di sana . Lagi pula, kanvasmu hangat. Sangat
dingin di luar sana ."
Perempuan itu tak beranjak dari tempatnya.
"Hanya
saja malam ini aku harus pergi. Tapi, jangan khawatir, suatu hari nanti aku
pasti akan datang lagi untuk memenuhi janji." Lantas begitu saja perempuan
itu berbalik, membuka pintu studio, meninggalkan lelaki pelukis yang mencoba
mengejarnya.
Meski
jarak mereka sangat dekat, namun entah kenapa tangan si lelaki tak berhasil
meraih tangan si perempuan. Meski langkah perempuan berkasut putih sangat
pelan, tapi entah kenapa langkah itu tak terkejar. Perempuan mungil berkasut
putih menghilang di antara hujan. Membuat si lelaki berdiri kuyup sambil
mencari. Memanggil-manggil nama si perempuan kasut putih di ujung jalan dekat
belokan. Berteriak-teriak seperti orang yang kehilangan sesuatu dan tak mungkin
akan dapat kembali ditemukan.
Dan
petang ini?
Dada
lelaki pelukis itu seperti bola kristal peramal yang dipenuhi kabut tebal.
Itukah dia perempuan berkasut putih? Benarkah?
Mata
lelaki itu tak berkedip. Ia tak percaya apa yang disaksikannya. Hatinya
dipenuhi bimbang.
Tapi
perempuan berkasut putih itu benar-benar berdiri di sana . Di luar studionya. Dalam hujan yang
semakin deras seiring petang yang beranjak mengelam.
Sungguhkah
akhirnya perempuan itu datang untuk menepati janjinya? Setelah tahun berlalu?
Setelah kecelakaan itu? Kenapa baru sekarang ia datang? Tidakkah perempuan itu
tahu kalau ia sangat rindu?
Lelaki
itu benar-benar ingin berlari menghambur ke luar menerjang hujan, tapi sesuatu
di kepalanya seolah menahan. Ingatan itu berkelebat.
Lelaki
pelukis dipanggil ke kepolisian. Menjadi salah seorang yang memberikan kesaksian,
setelah sehari sebelumnya ia menangis di rumah duka. Menyaksikan begitu banyak
memar dan bekas kekerasan di tubuh perempuan berkasut putihnya. Perempuan
tercantik yang pernah dilihatnya di peti jenazah. Mengenakan busana putih dan
tentu saja, kasut warna putih itu juga turut menghias kaki mungilnya.
Ke
mana perginya bukit kecil yang membuncit sedikit di perutnya? Keluarga si
perempuan terlihat terkejut mendengar pertanyaan si lelaki. Dengan sopan,
anggota keluarga itu bilang, untuk menghormati almarhumah, bisakah hal itu
tidak kita bicarakan?
Saat
itu lelaki pelukis hanya mampu menangis. Siapakah psikopat gila yang tega
membunuh perempuan berkasut putihnya? Benarkah pelakunya adalah salah satu
pacar dari sekian banyak pacar perempuan berkasut putih yang cemburu karena
diacuhkan? Apa maksud ucapan terakhir perempuan berkasut putih padanya di
studio, dulu?
Mengingat
semuanya, begitu saja lelaki itu menangis. Andai saja saat itu ia bisa langsung
paham maksud ucapan terakhir perempuan kasut putih beberapa tahun silam. Andai
saja saat itu ia tahu bahwa perempuan itu telah memilihnya di antara sekian
banyak pacarnya. Andai saja saat itu ia cepat tanggap bahwa bayi dalam
kandungan perempuan kasut putih itu adalah mungkin saja miliknya. Andai saja ia
mengerti bahwa kunjungan aneh terakhir perempuan kasut putih itu di studionya
adalah firasat yang memberitahu kepergiannya. Andai saja?
Pandangan
lelaki itu menubruk lukisan yang berada tepat di depannya. Lelaki dan perempuan
telanjang yang sedang berpelukan. Adakah perempuan berkasut putih itu tahu
kalau ia sedang melukis adegan itu: salah satu malam yang paling membahagiakan.
Saat perempuan kasut putih berada dalam pelukan. Mereka bercinta. Telanjang
semalaman sambil berpelukan. Membuat malu rembulan yang urung mengintip di
balik jendela malam. Karena lukisan itukah perempuan berkasut putih itu kini
kembali datang?
Lelaki
itu tak bisa lagi menahan diri. Ia menghambur ke haribaan hujan. Menyongsong
perempuan berkasut putih yang terus saja berdiri seolah tengah menanti. Namun
jarak itu terasa panjang, langkah lelaki itu seolah tak kunjung sampai. Dan
ketika akhirnya sang lelaki berhasil mendekat, hujan mendadak reda, membawa
terbang perempuan berkasut putih yang perlahan melayang di udara malam.
Meninggalkan lelaki sayap patah yang tak mampu terbang dan mengejarnya.***


17.59
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar