HOT

seputar kabar terbaru dari dunia handphone

Senin, 09 Juli 2012

Lelaki Sayap Patah


Lelaki Sayap Patah (atau Kisah Perempuan Kasut Putih)
Cerpen: Ucu Agustin

Lelaki itu menghentikan usapan kuas pada kanvas. Hujan di luar makin menderas. Derainya membuat ia ingin menjelma kapas, melayang di udara, menari bersama dingin cuaca. (Sudah berapa lama ia tak menari?)
Beberapa bulir kaki hujan yang bening keperakan, jatuh terlambat di teras halaman. Membuat hujan kecil yang telat mendarat itu malu dan langsung menyembunyikan wajahnya yang sumringah. Ngumpet di bawah serat lantai yang telah aus jengah. Dan rinai hujan yang teratur turun diagonal?
Lelaki itu ingin menariknya. Menjadikan rinai hujan sebagai tirai untuk jendela dalam lukisannya. Supaya lelaki dan perempuan telanjang yang berpelukan di sana tidak malu saat diintip rembulan. Membuat manis interior ruang dalam lukisan. Tapi bagaimana kalau mereka kebasahan?
Mungkin lebih baik kalau rinai hujan ditaruh di halaman belakang. Dekat bunga Lily dan sekumpulan Pakis bersekongkol, membuat gosip murahan. Perselingkuhan tukang kebun dan pembantu tetangga sebelah. Ada kolam kecil di sana.Tempat lelaki dan perempuan telanjang yang berpelukan dalam lukisan biasa menikmati sore. Rinai hujan pasti manis bila jatuh ke kolam kecil. Bersuka cita melakukan reuni keluarga air.
Namun tangan lelaki itu tak kunjung mengusapkan apa pun. Kanvasnya tetap diam, kuasnya tetap di tangan dan cat warna yang beberapa di antaranya telah diaduk rata perlahan mulai menjadi satu, kembali kental menuju beku.
Lama lelaki itu memandang keluar. Jauh menembus pahatan hujan yang bergulir deras pada kaca jendela yang transparan. Bahkan hujan kini tak bisa lagi mengobatinya. Tubuhnya seolah telah menyerap penyakit itu. Perih yang telah lama membuatnya merasa mati. Aku tak seharusnya berada di sini. Aku tak bisa melakukan ini lagi. Keluh si lelaki dalam hati.
Padahal perempuan-perempuan yang keluar dari jemarinya telah mampu membobol kanvas. Berubah menjadi penari, bermetamorfosa menjadi malaikat-malaikat kecil sendu berwarna abu-abu. Sebagian dari mereka juga telah menjadi kupu. Menghirup madu dan menghinggapi lukisan bunga yang dulu dicatnya dengan warna merah. Dalam kanvas, kelopak-kelona bunga itu terlihat seolah benar-benar merekah. Sulur-sulur batang daunnya menggembung, berwarna hijau mengilat dan tampak subur. Padahal lelaki pelukis itu tak pernah menambahkan apa-apa. Tak seorang pun merawatnya. Hanya debu saja yang mungkin memupuki lukisan itu sambil lalu, memercikkan partikel kotoran dan lantas entah dengan cara apa, membuatnya tampak seolah benar-benar sedang tumbuh betulan. Bunga yang hidup dalam lukisan.
Lelaki itu tiba-tiba terkesiap. Bukan disentakkan pikiran tentang kemungkinan ada kehidupan di balik dunia kanvas, hingga ia mungkin harus melakukan penelitian. Sebuah ekspedisi ke dunia gambar. Tidak. Sama sekali bukan.
Tapi pemandangan di luar rumah. Perempuan dalam hujan?
Mata lelaki itu tak sedikit pun mengerjap.
Di ujung jalan sedikit terhalang belokan, perempuan itu berdiri. Rambutnya kuyup dan sepatu putih yang pasti dikenakannya, entah telah berwarna apa.
Perempuan berkasut putih. Itu pasti dia!
Lelaki itu menatap tak percaya. Itukah dia?
Itu memang julukannya. Perempuan berkasut putih. Bermula dari perkenalan di sebuah toko sepatu di masa kecil, berakhir pada penyesalan mendalam yang masih basah dan sama sekali belum selesai di dadanya. Tidak cair diguyur air. Tidak tuntas setelah tahun-tahun meretas. Adakah hal yang benar-benar tuntas?
Lelaki itu ingin berlari menyongsong si perempuan. Tapi hujan seolah melarang. Suatu kepedihan bernuansa melankolis menaburi hati si lelaki dan membuatnya tiba-tiba ingin menangis. Perempuan itu. Perempuan berkasut putih?
* * *
"Jepit rambutmu berkarat," ucap si lelaki.
"Lukisanmu abadi. Aku ingin berada di sana," ucap si perempuan.
"Jepit rambut dan kasut putihmu yang nanti akan dominan di sini," si lelaki mengusap kanvas.
"Kenapa?" si perempuan mengurai rambut panjangnya.
"Tidak. Sepertinya bagus saja. Kasut putih dan jepit emas berkarat." Lelaki itu tetap pada kanvasnya.
"Tetapi sebentar lagi pikiranmu pasti berubah." Perempuan itu tersenyum, lantas begitu saja berlari ke kamar mandi. Lelaki pelukis mengendikkan bahunya. Menunggu apa lagi ulah yang akan dilakukan perempuan kasut putih itu, kini.
Masa kanak, tugas orang tua, perpindahan antarkota, perpisahan masa kecil. Bertemu kembali saat SMA, si lelaki jatuh cinta, si perempuan telah punya pacar. Masa kuliahan, kelulusan. Mereka tidak satu kampus tapi si perempuan kerap menggoda. Si lelaki kerap menyatakan cinta, tapi semuanya selalu saja berakhir sama; penolakan halus dengan janji akan terus menjadi teman. Tak akan berubah.
Perempuan itu menjadi pramugari, si lelaki menjadi pialang saham kemudian menekuni lukisan. Segala hal berubah, tentu saja keduanya juga turut menjadi bagiannya, kecuali sepatu putih di kaki si perempuan. High heels, sepatu olahraga, steleto, sepatu runcing, sandal, sepatu gunung. Aneka suasana. Aneka merek. Selalu putih. Putih di bagian bawah. Apa pun atasannya, hanya warna putih alas kakinya.
"Karena aku pemuja sepatu dan aku tak bisa menjadi Hermes," ucapnya suatu hari, membocorkan rahasia.
"Apakah kau ingin memiliki kemampuan untuk terbang?" si lelaki tertawa mendengarnya. "Seperti kanak saja."
"Kau pikir kenapa aku menjadi pramugari? Tanpa alasan?" si perempuan ikut berderai.
Maka lelaki itu pun berada di studionya selama tiga hari. Lantas keluar dengan membawakan hadiah lukisan untuk si pramugari. Sepatu Hermes. Kasut putih bersayap yang pernah dipinjam Perseus dari Hermes sewaktu menjalankan misi memenggal kepala Medusa yang ditumbuhi ular berbisa. Membuat putra Danae dari Zeus itu bisa terbang meski tak bersayap. Melumpuhkan perempuan jahat Medusa -penguasa Pulau Samos, dalam sekali tebas. Menyelamatkan rakyat dari pandangan mata perempuan berrambut ular yang bisa membuat manusia menjadi batu dalam satu tatap saja.
Perempuan itu girang bukan kepalang. Menghadiahi sahabatnya si lelaki pelukis dengan surprise "one night stand". Semalaman mereka bercinta sampai bulan menjadi malu dan urung mengintip melalui cahaya yang menjilati kaca jendela. Membuat si lelaki semakin kepayang dan tak bisa lagi memindahkan hatinya. Memutuskan untuk menetap di hati perempuan kasut putih meski ia tahu si perempuan cuma senang bermain-main dengannya serta tak bisa menetap di satu hati lelaki saja.
Dan beberapa bulan kemudian, perempuan itu berada di studionya. Entah apa yang sekarang tengah dilakukannya di dalam kamar mandi sana. Bisakah kau menebaknya?
Tentu saja tebakanmu benar. Perempuan kasut putih itu keluar tanpa sehelai pun benang. Picasso, Da Vinci, bahkan Jack Dawson, buruh manis asal Irlandia yang diperankan Leonardo Di Caprio dalam Film Titanic pun melakukannya. Semua melakukannya. Kenapa pelukisnya tidak?
Perempuan itu ingin mengabadikan detail tubuhnya. Ia ingin mengabadikan detak kecil janin yang bersemayam dalam perutnya. Ibu dan sang anak yang belum lagi ada. Kanvas adalah ranjang yang nyaman untuk rumah sementaranya, demikian bisik perempuan kasut putih. Dan si lelaki pelukis hanya bisa menahan kejutnya, sama sekali tak menyangka ada bukit mungil di atas perut mulus sang perempuan pujaan.
"Berapa bulan?" tanya si lelaki.
"Menjelang tiga. Belum kelihatan kan?" balas si perempuan dengan tatap mata semakin nakal.
Malam itu mereka tak bercinta. Perempuan kasut putih pulang. Lelaki pelukis berhasil menyelesaikan sketsa untuk sementara. Coretan seorang perempuan, mengenakan sepatu bersayap, memeluk bayi transparan yang muncul dari perut putihnya yang sedikit membukit.
Ketika pamitan, perempuan kasut putih bilang, "Kita sepertinya akan berbahagia setelah ini. Aku telah membuat keputusan. Kau masih ingin aku bersamamu? Keputusanku sepertinya akan menguntungkanmu." Hanya itu. Lantas perempuan itu pergi sambil membawa senyum penuh misteri. Meninggalkan teka-teki rumit di kepala lelaki pelukis. Apa maksudnya? Apa maksud ucapanmu barusan, wahai perempuan berkasut putih?
* * *
Hujan berderai. Sore terasa panjang bagi si lelaki pelukis. Tak ada kabar. Jam semakin merambat, sketsa sementara yang kemarin telah dibuat telah pula ia selesaikan. Garisnya kini semakin tajam.
Pukul sepuluh malam. Hujan di luar tak kunjung menipis. Hujankah yang membuat perempuan berkasut putihnya terhalang? Mengapa telepon selularnya tak diaktifkan? Ah sudahlah?
Lelaki pelukis memandang sketsanya. Terlihat jelas di hadapannya perempuan itu. Perempuan yang bagai permen Poprock di masa kecilnya. Bila kau menyesapnya, maka suara seperti ledakan lembut kembang api akan muncul di lidahmu diiringi sensasi aneka rasa manis-asam-asin yang membuatmu merasa sedih-riang-galau-gembira pada saat yang sama. Permen yang menendangmu dengan aneka rasa superdupper, meninggalkan aneka warna hijau merah kuning biru yang terus melekat di lidahmu. Tak kunjung hilang kecuali bila kau menggosok gigi, menjelang tidur waktu malam.
"Aku jarang gosok gigi malam," sekonyong suara itu muncul begitu saja. Dibawa angin. Dibawa guyuran hujan yang semakin deras di luar. Seolah mengetahui dengan pasti apa yang berkelindang dalam pikiran si lelaki. Pelukis itu menoleh. Tak salah lagi. Perempuan berkasut putih!
Tak ada suara pintu terbuka, tapi perempuan itu telah berdiri di sana. Hujan di luar kini terdengar seperti orang murka, tapi kasut perempuan itu tampak tak basah. Hanya saja ada sesuatu yang berbeda di wajahnya; pandangan mata sedih yang tak biasa disuguhkan perempuan berkasut putih.
"Hai!" Lelaki pelukis tersenyum, "Akhirnya tiba juga," wajahnya terlihat lega. Perempuan berkasut putih mendekat, tapi lantas berhenti. Ada jarak dua puluh senti terentang antara keduanya.
"Aku pasti memenuhi janji. Aku pasti datang menemuimu, malam ini," Perempuan itu memandang si lelaki dengan sedih. "Aku juga pasti akan mengisi kanvasmu. Kau ingat? Aku selalu ingin berada di sana. Lagi pula, kanvasmu hangat. Sangat dingin di luar sana." Perempuan itu tak beranjak dari tempatnya.
"Hanya saja malam ini aku harus pergi. Tapi, jangan khawatir, suatu hari nanti aku pasti akan datang lagi untuk memenuhi janji." Lantas begitu saja perempuan itu berbalik, membuka pintu studio, meninggalkan lelaki pelukis yang mencoba mengejarnya.
Meski jarak mereka sangat dekat, namun entah kenapa tangan si lelaki tak berhasil meraih tangan si perempuan. Meski langkah perempuan berkasut putih sangat pelan, tapi entah kenapa langkah itu tak terkejar. Perempuan mungil berkasut putih menghilang di antara hujan. Membuat si lelaki berdiri kuyup sambil mencari. Memanggil-manggil nama si perempuan kasut putih di ujung jalan dekat belokan. Berteriak-teriak seperti orang yang kehilangan sesuatu dan tak mungkin akan dapat kembali ditemukan.
Dan petang ini?
Dada lelaki pelukis itu seperti bola kristal peramal yang dipenuhi kabut tebal. Itukah dia perempuan berkasut putih? Benarkah?
Mata lelaki itu tak berkedip. Ia tak percaya apa yang disaksikannya. Hatinya dipenuhi bimbang.
Tapi perempuan berkasut putih itu benar-benar berdiri di sana. Di luar studionya. Dalam hujan yang semakin deras seiring petang yang beranjak mengelam.
Sungguhkah akhirnya perempuan itu datang untuk menepati janjinya? Setelah tahun berlalu? Setelah kecelakaan itu? Kenapa baru sekarang ia datang? Tidakkah perempuan itu tahu kalau ia sangat rindu?
Lelaki itu benar-benar ingin berlari menghambur ke luar menerjang hujan, tapi sesuatu di kepalanya seolah menahan. Ingatan itu berkelebat.
Lelaki pelukis dipanggil ke kepolisian. Menjadi salah seorang yang memberikan kesaksian, setelah sehari sebelumnya ia menangis di rumah duka. Menyaksikan begitu banyak memar dan bekas kekerasan di tubuh perempuan berkasut putihnya. Perempuan tercantik yang pernah dilihatnya di peti jenazah. Mengenakan busana putih dan tentu saja, kasut warna putih itu juga turut menghias kaki mungilnya.
Ke mana perginya bukit kecil yang membuncit sedikit di perutnya? Keluarga si perempuan terlihat terkejut mendengar pertanyaan si lelaki. Dengan sopan, anggota keluarga itu bilang, untuk menghormati almarhumah, bisakah hal itu tidak kita bicarakan?
Saat itu lelaki pelukis hanya mampu menangis. Siapakah psikopat gila yang tega membunuh perempuan berkasut putihnya? Benarkah pelakunya adalah salah satu pacar dari sekian banyak pacar perempuan berkasut putih yang cemburu karena diacuhkan? Apa maksud ucapan terakhir perempuan berkasut putih padanya di studio, dulu?
Mengingat semuanya, begitu saja lelaki itu menangis. Andai saja saat itu ia bisa langsung paham maksud ucapan terakhir perempuan kasut putih beberapa tahun silam. Andai saja saat itu ia tahu bahwa perempuan itu telah memilihnya di antara sekian banyak pacarnya. Andai saja saat itu ia cepat tanggap bahwa bayi dalam kandungan perempuan kasut putih itu adalah mungkin saja miliknya. Andai saja ia mengerti bahwa kunjungan aneh terakhir perempuan kasut putih itu di studionya adalah firasat yang memberitahu kepergiannya. Andai saja?
Pandangan lelaki itu menubruk lukisan yang berada tepat di depannya. Lelaki dan perempuan telanjang yang sedang berpelukan. Adakah perempuan berkasut putih itu tahu kalau ia sedang melukis adegan itu: salah satu malam yang paling membahagiakan. Saat perempuan kasut putih berada dalam pelukan. Mereka bercinta. Telanjang semalaman sambil berpelukan. Membuat malu rembulan yang urung mengintip di balik jendela malam. Karena lukisan itukah perempuan berkasut putih itu kini kembali datang?
Lelaki itu tak bisa lagi menahan diri. Ia menghambur ke haribaan hujan. Menyongsong perempuan berkasut putih yang terus saja berdiri seolah tengah menanti. Namun jarak itu terasa panjang, langkah lelaki itu seolah tak kunjung sampai. Dan ketika akhirnya sang lelaki berhasil mendekat, hujan mendadak reda, membawa terbang perempuan berkasut putih yang perlahan melayang di udara malam. Meninggalkan lelaki sayap patah yang tak mampu terbang dan mengejarnya.***

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews