Kartini yang Terempas
Cerpen: Ida Refliana
HIDUP
begitu naif baginya. Tak ada kebahagiaan yang sudi menyapa dirinya, kecuali
rasa sakit dan segunung luka. Luka yang terpahat dari jari tangannya. Luka yang
memerihkan hati. Menguliti seluruh bagian tubuhnya.
Kartini
menangis. Air mata telanjur menelaga. Dosa demi dosa bak lumpur panas yang siap
menenggelamkan negeri ini. Apa dinyana? Dosa tak berwajah. Tak pernah
menampilkan bentuknya. Yang berenang dalam sukmanya adalah semata hasrat dan
gairah. Dan, gairah itu? Menghasilkan sebuah keajaiban yang menakutkan.
"Maaf,
Suster. Saya tidak punya uang untuk menebus bayi itu," Kartini
terisak-isak.
"Tidak
bisa begitu! Kami tidak peduli Ibu sanggup bayar atau tidak! tapi kewajiban Ibu
harus melunasi biaya persalinan. Ibu boleh pulang dan bayinya kami tahan di
sini."
Suster
muda itu segera mengusirnya hingga keluar dari klinik bersalin. Kartini pun
pergi. Membawa langkah kaki yang terseok-seok, mengais debu jalanan. Potret
manusia terpinggirkan. Seperti anjing kurap. Serupa sampah. Sebusuk bangkai.
Mungkin. Kadang ia tak sanggup mengendus aroma sendiri.
Di
dalam raganya telah lama bersembunyi hewan. Dia sadar hal itu. Sungguh. Kalau
tidak, tak mungkin ia sanggup melahirkan orok tanpa menikah. Dan kini kembali
terjadi untuk kedua kalinya. Yang bisa dilakukannya hanya menangis. Kemudian
berpikir keras, mencari manusia yang mau berbaik hati menebus bayinya.
"Tolonglah,
Tante?" mohon Kartini.
Tante
bergincu tebal, dan rambutnya yang blonde selalu menjadi tempat pelarian
masalahnya. Wanita tersebut dengan senang hati lantas membiayai persalinan
Kartini, lalu mencarikan orang tua angkat bagi bayinya. Entah dijualnya atau
hanya diberikan begitu saja. Sejauh ini Kartini tak pernah bermaksud menjualnya.
Dia tak sekeji itu.
"Sebetulnya
aku letih, Nang. Aku ingin menikah saja. Tapi siapa yang mau ngawinin aku?,
ujar Kartini.
Siang
itu matahari baru saja melewati ubun-ubun. Kartini sudah berjalan sejauh
ratusan meter dari rumahnya, untuk berjumpa Lanang di bawah sebuah pohon besar,
di sisi trotoar jalan.
Lanang
selalu setia mendengar cerita-cerita Kartini. Karena ia tak pernah bicara.
Mungkin bisu. Mungkin juga tidak. Lanang adalah lelaki misterius. Ia hanya
mengenal kehidupannya di bawah pohon akasia tersebut. Lanang senang duduk
bersila, menatap kosong setiap pemandangan yang terekam dalam memori otaknya.
Entah, dia mampu mengingat yang dilihatnya atau tidak.
Banyak
orang menuding Lanang gila. Tubuhnya kotor, pakaian yang dikenakannya juga
begitu. Kumal. Dekil. Sekotor rambut gimbal yang tumbuh subur di bahu Lanang.
Bagi
Kartini, Lanang bukan lelaki gila. Dia hanya contoh kecil manusia berperilaku
serbasederhana. Lanang tak pernah punya mimpi. Apalagi untuk mempunyai ambisi.
Tidak sama sekali. Untuk mengganjal rasa lapar di perutnya saja, dia hanya
mencari sisa-sisa makanan yang tercecer di sepanjang jalan. Atau menunggu
Kartini memberikannya sebungkus nasi.
"Hari
ini aku ada janji dengan seseorang. Semoga aku bisa bawa uang lebih banyak
lagi, dan berhasil menggaet hatinya. Doakan aku, ya Nang? Nanti kamu kubelikan
baju baru dan makanan yang enak-enak," kata Kartini.
Lanang
diam. Dari sinar hampa matanya, ia hanya mampu menyaksikan perempuan bernama
Kartini berlari mendekati sebuah truk yang tiba-tiba berhenti.
Pintu
truk bermuatan barang itu kemudian terbuka. Aksi tawar-menawar pun terjadi.
Negosiasi. Penjual membutuhkan pembeli, begitu pula sebaliknya. Setelah deal?
Bermalam-malam ia sanggup merenangi lautan cinta bersama sang sopir.
***
Pulang
ke rumah ibu, selalu ada sebab yang membuat kedua kakinya terasa berat memasuki
rumah berdinding papan itu. Saat melihat kedua mata ibu, dan linangan air
bening yang tak putus membasahi pipinya. Juga sebuah pertanyaan yang tak pernah
mampu ia berikan jawabnya hingga kini.
"Di
mana anakmu?"
Kartini
hanya bisa menggeleng. Ketajaman mata Ibu seakan ingin menembus rahasia yang
bertahun-tahun disembunyikannya.
Bukan
salah ibu, jika ia harus menanyakan keadaan Kartini. Walau Kartini hanya bisa
menyambangi wanita itu beberapa bulan sekali. Tetapi hidup seakan menuntut
dirinya untuk dapat lebih bijak menjalani, dan menerima pahitnya saat
lingkungan di sekitar tak lagi sudi menerima.
"Kamu
selalu jadi gunjingan tetangga," keluh Ibu.
Ibu
memang tak pernah sanggup marah. Bahkan dia kerap sibuk menyalahkan diri dan
nasib yang tak pernah berpihak atas hidupnya. Dulu, saudara lelakinya pernah
memperkosanya hingga lahirlah Kartini. Tetapi kemudian, Orang tua dan semua
keluarganya justru mengasingkan dirinya di suatu tempat.
"Jangan
pergi, Kartini!" Ibu memeluk Kartini sangat erat.
"Saya
harus pergi, Ibu. Saya harus mengumpulkan banyak uang. Dan nanti suatu saat,
saya pasti membawa Ibu pergi jauh dari sini," Kartini melepas pelukan
ibunya. "Percayalah, Bu. Saya sangat menyayangi Ibu."
Hati
Kartini sebetulnya menjerit. Sakit. Tak kuasa dirinya membiarkan ibunya hidup
dalam kesepian. Tapi? Apa yang bisa dilakukannya? Kecuali janji-janji yang tak
pernah bisa diwujudkannya hingga kini.
Kartini
hanya lulusan sekolah dasar. Cukuplah, kata Ibu. Sekadar untuk bisa membaca dan
menghitung uang. Sedari kecil ibu lebih banyak mengajarinya, bagaimana cara
mencari uang demi untuk menambal perut dan agar tidur mereka tidak kehujanan.
Ibu
seakan tak pernah letih, setiap hari ia mencucikan pakaian para tetangga. Dan
setelah pakaian-pakaian itu kering, disetrikanya. Sesudahnya baru kartini yang
mengantarkan kepada pemiliknya.
Meskipun
pekerjaan tersebut cukup melelahkan, namun sangat indah untuk dikenangnya.
Kartini tentu tak bisa melupakan kisah pedih itu begitu saja. Sebab ia memang
tak sanggup menyaksikan penderitaan yang ditanggung ibunya. Hingga kemudian
setelah ia besar, dan mulai memahami kerasnya kehidupan di kota besar. Kartini pun akhirnya terpaksa
membuat pilihan pahit di hidupnya. Menjajakan cinta kepada sopir-sopir truk
berhidung belang.
Bukan
tak ada pekerjaan yang lebih mulia mampu dilakukannya. Ketika masih berumur
belasan tahun, Kartini beberapa kali bekerja menjadi tenaga pembantu rumah
tangga. Dan, seperti kisah klise orang-orang yang berasal dari kalangan kelas
bawah yang dianggap lebih pantas untuk menjadi objek kekerasan dan sasaran
pemuas seks sang majikan. Kartini adalah satu dari sekian jumlah korban
tersebut.
***
Adakah
cinta akan tumbuh di hati pria semisterius Lanang?
Kartini
merapatkan kelopak matanya. Ia menggeleng. Membuang pertanyaan gila itu dalam
pikirannya. Dia berharap itu hanya sugesti. Bukan niat terselubung dari
keinginannya berempati terhadap nasib dan penderitaan laki-laki tersebut.
Kalender
di kamarnya sudah ia tandai. Malam ini adalah bulan kedua, Lanang kehilangan
jejak dirinya.
Lanang?
Akankah dia mengingat Kartini?
Pertanyaan
aneh tentang Lanang, menggodanya kembali. Tiba-tiba Kartini tersenyum. Seketika
saja dia mulai becermin, menatap garis ketuaan perempuan berusia kepala tiga.
Mungkinkah dia harus menjalani hidup seperti ini selamanya? Sementara ibunya
tak pernah putus mendoakan bagi kebaikan dirinya?
Kartini
tercenung lama. Hingga kemudian ia menyadari keberadaan Lanang, berdiri tegak
di pintu rumahnya yang memang dibiarkan terbuka.
"Lanang?
Dari mana kamu tahu rumahku?"
***
Di
bawah pohon akasia itu, kini, hanya tinggal rerumputan dan ilalang yang
mendiami. Tak akan ada lagi sosok Lanang dapat ia temui. Lanang sudah pergi
jauh. Baru saja orang-orang kampung di sekitar tempat itu membawa usungan tandu
jenazah menuju tanah pekuburan di bawah kaki bukit.
Kartini
hanya bisa melihat iring-iringan pembawa jenazah dari kejauhan. Ia tak mungkin
bergegas menyusul ke sana ,
atau mengikuti dari belakang dan berjalan jauh ke tempat tersebut. Tidak akan
dilakukannya. Walau sangat ingin Kartini menyaksikan prosesi penguburan Lanang.
Melihat Lanang untuk terakhir kalinya
Perempuan
terempas itu masih tertegun. Baju-baju baru yang sejak lama dipersiapkannya
buat Lanang, diberikannya pada bapak tua yang kebetulan terjumpa di tempat
tersebut. Dari mulut lelaki itu pula, Kartini mendengar sebab meninggalnya
Lanang.
"Pagi
tadi sebuah mobil truk menabraknya, saat Si Gila berniat menyeberangi jalan
ini"
Kartini
menyusut air matanya. Dia harus secepatnya meninggalkan tempat tersebut.
Bayangan wajah Lanang sudah tak mampu lagi ia gapai. Pergilah. Kartini sudah
mengikhlaskannya. Barangkali keputusan Tuhan atas peristiwa ini, merupakan
pilihan terbaik bagi Lanang.
Hanya
satu keinginan hatinya kini, bertemu ibu dan mengajaknya memulai kehidupan baru
yang lebih baik.
"Kau
hamil lagi?" tanya ibunya, setelah keduanya bertemu di bilik kos tempat
ibunya tinggal. "Kau pasti sudah menikah, bukan?"
Kartini
membelai lembut perutnya. Ia memang sedang menghitung hari, di usia bulan ke
sembilan kehamilannya. Dan, sampai saat sekarang, Kartini tak juga mampu
menjawab semua pertanyaan ibunya.
"Siapa
nama suamimu?"
Kartini
tetap membisu. Ada
wajah Lanang menggelayuti pikirannya. Ia lantas tersenyum. Meski hampa. Tapi
setidaknya Kartini telah mampu membuat pilihan, untuk bisa menjaga dan
membesarkan bayinya kelak.***


00.05
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar