Malam Seribu Bulan
Cerpen: Leo Kelana
(untuk
perempuan bertudung senja dengan senyum berwarna jingga)
Dalam
doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata.**
"Perempuan
itu seperti melati," kata ibuku suatu ketika. Aku diam saja. Kupandangi
melati yang bermandi cahaya mentari pagi. Di depan rumahku, ia tumbuh begitu
sempurna. Ah?benarkah perempuan itu seperti melati. Bisikku dalam hati.
*****
Dan
ketika saatnya, aku baru mengerti. Perempuan itu seperti melati. Lembut.
Bening. Aku seperti selalu diminta untuk diam bahkan terdiam ketika bening itu
kutatap. Ingin kureguk. Ingin kurengkuh. Tapi beburungan mengabarkan padaku,
biarkan ia tumbuh di taman itu. Jangan kau dekati. Jangan kau sentuh. Jangan kau
tergesa tuk meraihnya. Biarkan ia luruh ketika tiba saatnya. Kau hanya perlu
menyiraminya.
Aku
terpekur diam. Dengan apakah aku menyirami melati itu? Melati yang tidak tumbuh
di taman depan rumahku. Melati yang tidak bermandi cahaya mentari pagi. Melati
semerbak mewangi yang tak terlihat kasat mata. Melati yang tumbuh di dalam
hatiku. Melati yang tak pernah membiarkan hatiku sunyi dari mendoakannya.
"Aku
melihat lautan teduh di matamu," kataku ketika pertama kali bertemu
dengannya. Di sebuah bis malam dalam perjalananku menyusuri sunyi. Angin hanya
bisa berbisik ketika kulihat perempuan itu tersenyum. Senyum yang sangat
kusuka. Senyum berwarna jingga.
"Sepertinya
kabut telah menyelimuti batinku. Aku sama sekali tak mengerti kata-katamu.
Bahkan telingaku seakan tak mendengar apa-apa." Jawabnya berpuisi.
Sepertinya aku sedang berhadapan dengan Dewi Venus.
"Aku
tak akan pernah bosan mengulangi kata-kata itu. Aku akan berteriak sejuta kali
sampai tiba saatnya telingamu terbuka, juga kabut yang menyelimuti batinmu
tersingkap. Aku tak akan pernah bosan!"
Perempuan
itu begitu sempurna. Pertemuan kali itu pakaian putih bening membalut badannya.
Sebening itukah hatimu wahai perempuan salju? Hatiku diam-diam bertanya pada
rembulan. Rembulan memandangku iba.
"Mengapa
kau menatapku seperti itu? Aku melihat beban seberat bumi menggelantung di raut
wajahmu. Maukah kau mengabarkan padaku tentang keresahan jiwamu?"
"Aku
takut kau berlaku tergesa pada bidadari itu. Aku hanya ingin mengingatkan
padamu, bersabarlah menghadapinya." Rembulan menjawab, menyampaikan suara
dawai biola kehidupan.
"Siramilah
melati itu dalam setiap detak jantungmu," lanjutnya.
*****
Ketika
matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk
cemara yang hijau senantiasa.**
Bumi
tiba-tiba terdiam. Bisu. Kaku terpaku menatap gelap. Rembulan lenyap di telan
pekat. Mengapa ifrit datang bersijingkat dalam jiwaku lalu membisikkan sabda
malapetaka? Aku tak mengerti. Mengapa jibril tak membawakan secawan minuman
surgawi agar aku tak terbakar rayuan syaitan? Barangkali takdir memang
menggariskan untuk tak boleh menatap melati sementara waktu.
"Aku
telah berbuat tolol. Aku tak sadar, tiba-tiba saja aku ingin merengkuh melati
itu. Aku ingin mencium semerbak wanginya. Aku ingin memetiknya." Desahku
pada rerumputan. Rerumputan di taman-taman itu ternyata sesenggukan. Rinai air
mata beranak sungai mengalir deras pada wajahnya yang tirus.
"Aku
tidak tahu apa yang harus aku katakan. Melati itu kini meranggas. Melati itu
terkulai karena tanganmu yang ceroboh. Mengapa kau berbuat seperti itu. Mengapa
kau tak mendengarkan sayup-sayup kebijaksanaan yang ditiupkan kupu-kupu setiap
pagi? Dan sekarang kau lihat air mata membanjiri kerajaan langit dan bumi.
Melati
itu telah kau buat menangis. Dan dunia pun kini berduka." Suara rerumputan
di antara isak tangisnya.
"Lelaki
seringkali bermimpi mendapatkan cinta perempuan semudah ia manangkap merpati.
Lelaki bisa jatuh sekali pandang, tapi perempuan butuh dua kali musim gugur
untuk mencari tahu apa sejatinya kehendak nurani."
Aku
terbuang pada keterpurukan. Aku telah membuat melati itu terluka. Aku tak tahu
kemana harus membawa jiwa yang nelangsa. Nafasku terengah-engah membawa lari
perasaanku yang linglung.
*****
Dalam
doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan
bulunya dalam gerimis.**
"Ibu,
aku datang padamu sebagai seorang lelaki. Tolong katakan padaku apakah yang kau
maksudkan, perempuan itu seperti melati?"
"Anakku,
apakah yang terjadi denganmu? Mengapa di matamu terjadi badai dan hujan lebat?
Katakan padaku apa yang telah terjadi sehingga kau berlari membawa pertanyaan
aneh".
"Aku
mengingat kata-katamu yang dulu. Perempuan itu seperti melati. Aku mengerti
perempuan itu memang seperti melati. Indah. Wangi. Lembut. Lalu beburungan dan
sekawanan sahabatku yang lain mengatakan padaku untuk menyiraminya. Tapi aku
ceroboh. Tergesa-gesa ingin memetiknya."
"Oh...mengapa
kau anakku? Tanganmu masih kaku dan keras. Tanganmu harus kau buat lentur
bergerak. Menghiasinya dengan tarian kebijaksanaan. Setelah itulah kau bisa
memetik melati itu."
"Adakah
selain itu perihal melati, Bunda?"
"Aku
ingin tahu bagaimana kau menyirami melati itu. Melati yang tumbuh di taman hati
akan layu kalau kau sirami dengan kasar."
"Ajarkan
aku bagaimana menyirami melati itu, Bunda."
"Mengapa
kau tak belajar dari alam bagaimana menyirami melati."
"Aku
ingin belajar dari seorang perempuan. Dan perempuan yang paling berhak
menerangkan padaku adalah engkau, Bunda."
"Perempuan
itu harus kau sirami dengan lemah-lembut. Lihatlah arakan-arakan awan putih
yang membawa air hujan. Ia berjalan perlahan. Ia tak pernah tergesa. Seperti
itulah kau menghadapi perempuan."
"Tapi
sekali lagi anakku. Tuhan sebenarnya ingin kau lebih memahami bahwa hidup itu
sangat rumit untuk dijalani. Kau sedang ditempa untuk tidak menjadi orang yang
kerdil. Kau tak perlu risau dengan setangkai melati yang terlanjur kau
kecewakan. Mintalah kepada Tuhan semua yang kau inginkan. Dia Maha Pemurah.
Tapi sebenarnya cinta Tuhan-lah yang sejati."
*****
Magrib
ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun jauh di
sana.**
Tuhan
meraih tanganku yang lemah terkulai karena setangkai melati. Dia kemudian
menuntunku menuju mihrab-Nya yang agung. Seorang penjaga surga membawakan
secawan minuman dari al-Kautsar. Dingin. Tenang mengalir di lorong tenggorokan
hidupku. Apakah yang Kau anugerahkan padaku, wahai Sang Maha Pecinta?
Dalam
doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan
terhadap rasa sakit yang entah batasnya.**
Putih
menyelimuti seluruh badanku. Aku berselonjor di teras mesjid. Tengah malam yang
menggigil dingin, segerombolan malaikat datang menjemputku.
"Seni
rupa doamu telah sampai di Arsy yang agung. Semoga Tuhan menganugerahkan
bidadari surga yang akan menuntunmu menuju cinta hakiki. Hanya cinta Tuhan-lah
yang hakiki".
Semburat
fajar tersenyum di ufuk timur. Malam seribu bulan telah berlalu.
Malaikat-malaikat yang turun ke bumi untuk menjemput doa, kini telah kembali ke
langit. Aku masih terus menyirami melatiku di sela-sela adzan subuh yang
mengalun syahdu. Kusirami melatiku dengan lemah-lembut. Dengan untaian doaku.
Aku
mencintaimu, itu sebabnya aku tak kan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu.***


13.11
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar