Mas Parman Mencari Tuhan
Cerpen: M. Dawam Rahardjo
"Ada yang aku lupa laporkan
padamu, Yon," kata Mas Ihsan padaku, "ketika aku bertemu dengan Mas
Parman."
"Wah,
apa yang lupa, Mas?" tukasku menanyakan soal yang kelihatannya sangat
penting. "Aku sempat bertanya begini," jelas Mas Ihsan padaku.
"Apakah Mas sekarang sudah percaya dengan adanya Tuhan?"
Lalu,
Mas Parman menjawab, "Loh, aku selama ini, sejak tidak percaya kepada
Tuhan, tidak mencari-cari lagi. Sebab, apa saja yang telah aku temukan
sebelumnya, pasti bukan Tuhan. Kalaupun ada, itu pun Tuhan ciptaan manusia.
Tapi, mengapa tiba-tiba saja, kau menanyakan hal itu, San?" Mas Parman
balik bertanya kepadaku.
"Kita
kan sama-sama
tahu, jika seseorang ingin bertemu dengan Tuhan, lakukanlah dengan amal saleh.
Menurut hematku, sekalipun orang itu sudah atheis sejak awalnya, jika
perbuatannya itu baik, ia akan menemukan Tuhan melalui pintu hidayah."
"Oh,
begitu."
"Saya
punya permintaan kepada Mas Parman, sebagai saudara tua yang paling kami cintai
dan sayangi."
"Apa
permintaanmu itu?"
"Begini
Mas, tetapi jangan tersinggung kalau memang selama ini Mas Parman tidak lagi
bermaksud mencari Tuhan, bagaimana jika waktu masuk masa pensiun, Sampeyan
sekarang ini terus mempertahankan budi pekerti luhur sebagai jembatan untuk
memperoleh penjelasan mengenai Tuhan. Jadi, Mas Parman mencari Tuhan atas
permintaan saya dan demi seluruh saudara-saudara kita."
"Lalu,
bagaimana hasilnya?" tanyaku tak sabar ingin mengetahui reaksi yang ditunjukkan
Mas Parman.
"Alhamdulillah,
Yon, Mas Parman mau. Tetapi, dia memerlukan bantuanku. Dia ingin mencari dan
menemukan Tuhan melalui proses dialog denganku."
"Memang
Sampeyan berdua itu paling akur, akrab, dan cocok pula. Kalau aku tidak
sanggup, sebagaimana Sampeyan juga tahu, aku orangnya tidak sabar. Sebaliknya,
Sampeyan, Mas Ihsan, memang telaten. Kemudian, apa saja yang sudah Sampeyan
berdua lakukan dan bisa diceritakan padaku, Mas?" aku terus mengejar
lantaran makin penasaran.
"Ya,
pertama-tama aku mengajaknya sowan ke Gus Dur. Sebelum sowan, aku pertemukan
Mas Parman dengan KH Agus Miftah, seorang kiai pengembara yang belajar di
pelbagai pesantren, persis seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim."
"Apa
yang Sampeyan dan Mas Parman dapatkan dari kiai itu?"
Ia
bilang seperti ini:
"Wah,
kalau sampeyan-sampeyan tanya tentang eksistensi Tuhan padaku, aku belum tahu
jawabannya. Mari kita sowan ke Gus Dur dulu dan menanyakan pertanyaan ini
kepadanya."
Ketika
kami bertemu dengan Gus Dur, Kiai Agus bertanya kepada sang kiai yang sering
dijuluki sebagai wali itu, "Kami ingin tanya, Gus..."
"Apa
pertanyaanmu itu? Pasti aku kesulitan menjawabnya, sebab kamu ini kiai NU yang
mbeling."
"Gus,
sebetulnya Tuhan itu ada atau tidak ada, sih?"
"Oh,
kalau pertanyaan itu, gampang saja menjawabnya."
"Apa
jawabannya, Gus?"
"Ya,
kalau orang percaya pada Tuhan, Tuhan ada. Tetapi kalau orang itu tidak percaya
Tuhan, ya Tuhan tidak ada," jawab Gus Dur tidak mau repot.
Namun,
seusai sowan dengan Gus Dur dan berpisah dengan Kiai Agus, Mas Parman berujar,
"Saya kira, saya setuju dengan pendapat Gus Dur, kendati pendapat saya
tetap berbeda dengan pandangan Gus Dur itu. Menurut saya, Tuhan itu tidak ada,
karena itu tidak usah dicari-cari."
Setelah
itulah aku menegaskan kembali maksud utamaku kepada Mas Parman sambil
mengungkapkan pikiranku, "Kalau aku sendiri," demikian aku berkata
pada Mas Parman, "sejalan dengan kedua pandangan Kiai Agus Miftah dan Gus
Dur, karena itulah, lagi-lagi, kami saudara-saudara Sampeyan, memohon agar Mas
Parman memenuhi permintaan kami."
Selang
beberapa hari kemudian, kami menerima undangan untuk menghadiri Majelis
Pengajian Tauhid Wahdatul Ummah. Pengajian itu dilaksanakan di Simprug, rumah
Kiai Agus Miftah. Di rumah itu, pengajian dilaksanakan di tepi kolam renang
dengan udara terbuka. Kebetulan, waktu itu muncul bulan sabit di sela-sela
pohon kelapa. Suasananya memang indah, hanya saja dingin. Yang cukup menarik
lagi, ternyata pengajian tersebut dihadiri orang-orang dan tokoh-tokoh lintas
agama. Tentu saja, pembicaranya tidak hanya ulama-ulama, tetapi juga pendeta
dan romo-romo. Pesertanya bisa beragam dan hampir dari semua kalangan.
Karena itu, pengajiannya lebih berbentuk diskusi yang bersifat dialog kritis.
Acara presentasi yang biasanya dilakukan paling sedikit oleh dua orang dan
didahului dengan uraian dari Kiai Agus Miftah. Tak dapat disangkal, kiai itu
luas sekali pengetahuannya, tidak saja mengenai Islam tetapi agama-agama lain
juga. Dalam ceramah yang kami hadiri itu, Kiai Agus mencoba menjawab pertanyaan
kami, yaitu apakah Tuhan itu ada? Sesuai dengan jawaban Gus Dur, Kiai Agus
Miftah juga berpendapat bahwa hal itu sesuai dengan orang yang bertanya.
Apabila orang itu percaya, ya Tuhan ada, jika tidak, ya Tuhan tidak ada.
Kemudian Kiai Agus menguraikan selintas sejarah Tuhan, seperti halnya dilakukan
oleh Karen Amstrong.
Ia
mengawali keterangannya seperti ini: "Sebagian manusia memang percaya
dengan adanya Tuhan. Masalahnya, mereka tidak mampu memberikan argumen yang
memadai tentang adanya Tuhan. Ilmu pengetahuan yang ilmiah telah gagal. Dengan
kata lain, Tuhan memang tidak dapat dicari dengan ilmu pengetahuan, tetapi
dengan pengalaman kebatinan. Menyelami pengalaman mencari Tuhan merupakan laku
seorang sufi. Sebagian dari mereka merasa telah menemukan Tuhan. Misalnya,
Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Ibn 'Arabi, dan sebagainya. Namun, permasalahan
asal dari semua itu akan selalu berbenturan dengan adagium dasar. Yakni, Tuhan
yang ditemukan oleh siapa pun adalah bukan Tuhan. Tuhan hanya bisa ditemukan di
akhirat kelak. Itu pun kita tidak bisa tahu dan memastikannya. Dari pengalaman
mencari Tuhan itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Tuhan yang kita percaya selama
ini adalah Tuhan buatan manusia."
Di
tengah-tengah paparan Kiai Agus, Mas Parman berbisik kepadaku, "Makanya
aku tidak memercayai Tuhan yang digambarkan oleh manusia, kalaupun harus
percaya, aku hanya percaya kepada Tuhan yang diinformasikan oleh Tuhan sendiri.
Tetapi, kalau boleh tanya, dari mana informasi ihwal Tuhan dapat diperoleh,
apakah dari Alquran?"
"Ya
memang tidak," jawabku. Aku pun lantas menambahkan, "Kita bisa
mendapatkan informasi tentang Tuhan dari semua Kitab Suci, bahkan juga
penjelasan dari para filsuf dan sufi. Akan tetapi, informasi yang tetap
autentik pasti dari Kitab Suci, bukan filsafat. Karena, lagi-lagi semua yang
dideskripsikan oleh filsuf atau seorang sufi sekalipun, itu adalah Tuhan
ciptaan manusia atau yang dipersepsikan oleh manusia. Akibatnya, deskripsi
tentang Tuhan berbeda-beda. Antara lain, Tuhan menurut orang Islam: Allah, orang
Kristen: Tri-Tunggal, Sang Bapak, Sang Anak, dan Roh Kudus, yang merupakan three
in one. Di sisi lain, Tuhan menurut orang Yahudi sering disebut Yahweh.
Jadi, Mas Parman, masalahnya tetap soal kepercayaan."
"Demikianlah
diskusi antara aku dan Mas Parman di sela-sela pengajian Kiai Agus Miftah.
Kemudian kami terus mendengarkan dengan khidmat ceramahnya," ungkap Mas
Ihsan.
"Yon,"
Mas Ihsan mencoba memberikan pengertian padaku, "Itulah sebabnya kita
mesti dapat memahami sikap Mas Parman yang selama ini menyimpulkan bahwa Tuhan
tidak ada, namun akhir-akhir ini dia mulai berusaha mencari-Nya. Tak pelak,
yang dilakukan Mas Parman itu tidak berbeda sama sekali dengan laku para sufi,
yaitu mencari Tuhan dengan pengalaman batin. Pada prinsipnya, Tuhan memang bisa
dicari dengan pelbagai cara. Kita sendiri meyakini seseorang yang mampu
menemukan Tuhan, semata-mata berkat hidayah-Nya. Untuk bisa memperoleh hidayah,
kita harus beribadah. Menurut Kiai Agus konsep ketuhanan Islam itu berasal dari
konsep Yahweh. Keduanya, Islam dan Yahudi, menyebut Tuhan itu sebagai Baal.
Sedangkan simbol ketuhanan dalam Islam sendiri adalah Kakbah, yang di dalamnya
terdapat Hajar Aswad. Konsep itu sejatinya mengikuti simbol ketuhanan Yahudi,
yang disebut rock of the doom. Bagi kami, orang Islam, Tuhan Yahudi, dan
Tuhan orang Islam pada hakikatnya sama. Tetapi, sebagian ulama memberikan
tafsiran bahwa Tuhan Yahudi itu merupakan Tuhan yang keras, sedangkan Tuhan
orang Kristen adalah Tuhan yang Pengasih, dan Islam sendiri menyebut Tuhan
sebagai Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu, Tuhan dalam Islam
menyempurnakan konsep-konsep Tuhan sebelumnya, terutama Tuhan orang Kristen dan
Yahudi."
Kemudian,
aku mengajukan pertanyaan lebih lanjut pada Mas Ihsan, yang setelah lulus dari
Pabelan memang berhasil menjadi seorang teolog Muslim. Aku sendiri malah
menjadi seorang petani-pengusaha, karena aku memasuki Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta , setelah lulus dari Pesantren Al-Islam,
"Bagaimana hasil yang dicapai para sufi itu?" Mas Ihsan menjawab,
"Beberapa orang sufi merasa telah menemukan Tuhan. Al-Hallaj merasa
menemukan Tuhan setelah mengalami hulul, atau persatuan dengan Tuhan, sehingga
dia mengeluarkan pernyataan ana al-haq (aku adalah Tuhan). Banyak
kesalahpahaman terhadap perkataan Al-Hallaj itu, yang menyebabkan Al-Hallaj
akhirnya dihukum mati. Padahal, yang dimaksud oleh Al-Hallaj sebenarnya menurut
pendapatku, ia telah menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri, yang selama ini
memang sangat dekat, karena teramat rajin dan khusyuknya Al-Hallaj dalam
beribadah. Tuhan sedekat urat lehernya. Hemat saya, pada waktu itu Al-Hallaj
memperoleh hidayah dan diberikan pengertian yang terang tentang Tuhan. Hal yang
sama juga dilakukan oleh Jalaluddin Rumi. Ia akhirnya mampu bercerita bahwa
selama ini ia merasa berada di kamar gelap. Lalu ia dengan sekuat tenaga
mencari tahu. Namun, ternyata hampa dan tidak menemukan apa-apa dalam kamar
gelap itu. Artinya, usaha mencari Tuhan itu tidak perlu. Karena Ia
sudah ada dalam diri seseorang yang dapat dirasakan lewat pengalaman batin,
melalui kesadaran
rohani."(...pengalaman
sufistik Ibn Arabi mencari Tuhan...)
"Oh,
begitu," gumamku.
"Pengalaman
rohani yang dilalui Mas Parman," begitulah Mas Ihsan mencoba mengaitkan
pencarian Tuhan Mas Parman dengan laku para sufi, mulai tumbuh persis seusai
mengikuti ceramah dan diskusi bersama majelis pengajian Kiai Agus Miftah. Mas
Parman langsung berkomentar di dalam mobil:
"Wah,
ini memang pengajian yang hebat. Selama ini saya tidak pernah mengalami
pengajian yang menarik seperti ini. Saya kagum dengan Kiai Agus Miftah yang
menyampaikan pandangannya melalui proses diskusi dengan pendengar yang kritis
dan beranekaragam pendapatnya. Dengan begitu, respons dari para peserta
pengajian sangat penting artinya. Maka itu, kalau saya, lain kali diundang
lagi, saya mau menghadirinya."
Alhamdulillah
dengan respons Mas Parman itu, aku pun jadi turut belajar banyak.
"Dik,"
sahut Mas Parman lagi, "terus terang saya bangga karena memiliki adik
seperti kamu. Tanpa kamu saya tidak akan pernah bisa belajar seperti ini."
"Kalau
begitu, berilah aku kesempatan untuk terus mendampingi Sampeyan, Mas. Aku juga
masih perlu banyak belajar dari Mas Parman yang bijaksana ini."


19.59
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar