Penantian Ibu Saat 21 Mei
2006
Cerpen: Iqbal Latief
Malam gelap. Sekitar sepuluh meter lagi aku sampai di rumah.
Menyusuri gang sempit yang remang-remang karena hanya disinari lampu 5 watt.
Perjalanan yang lumayan melelahkan hampir 4 jam akan segera tertunaikan dengan
berkumpulnya aku kembali dengan anggota keluarga.
"Assalamu`alaikum!" kubuka perlahan pintu belakang rumahku. Tak
terdengar jawaban, hanya suara televisi. Mungkin semua asyik menikmati acara
televisi. Langsung saja aku masuk dan menuju ke dapur. Entah apa karena
mendengar suara di belakang atau yang lain, seorang mendongak ke arah dapur,
memicingkan mata sebentar dan menemukan sosok tubuhku sedang mengunyah tempe goreng kesukaanku.
Dialah ibuku.
"Oh kamu Yan, kok nggak bilang mau pulang, kan bisa ibu masakin lebih." Terdengar
pelan dan datar, namun aku tahu ada perasaan bahagia pada ibuku.
"Tadi sudah makan kok Bu!" Ujarku ketika menyalami tangannya.
"Ya sudah, cepat temui bapakmu di ruang tamu."
Aku letakkan terlebih dulu tasku di kamar sebelum menghampiri bapak. Di
wajahnya terlihat kekagetan ketika aku menghampiri dan menyalaminya.
Mandi pada malam itu menjadi mandi tersegar selama 2 bulan ini. Selama kuliah Surabaya aku mandi dengan
air PDAM yang hangat.
Acara televisi malam itu adalah sinetron. Sebenarnya kubenci, tapi berhubung
itu acara yang ditonton ibuku terpaksa juga aku ikut nimbrung. Kapan lagi aku
bisa duduk-duduk bersama ibuku.
"Beberapa hari lalu ada surat
dari kampusmu Yan, tuh di laci yang tengah," lbuku memulai pembicaraan
sambil mengarahkan jari manisnya ke arah laci yang ia maksud. "Kayaknya
nilai rapormu nggak seperti yang dulu Yan?" ibuku masih tetap saja menamai
nilai semesterku dengan istilah rapor seperti SMA dulu.
"He?eh," sahutku. "Kata kakakmu sih nilaimu turun Yan, bener
nggak?"
Jantungku berdegup. Walaupun ibuku tidak mengerti huruf-huruf dalam mata kuliah
itu, ia selalu bertanya pada kakakku. Ada
perasaan bersalah, mengapa aku tidak bisa seperti semasa sekolah. Saat itu ibuku
bangga melihat raporku dengan tulisan peringkat ke 1 dari 40 siswa atau
peringkat 2 dari 42 siswa. Ingin kujelaskan pada ibuku kuliah berbeda dengan
sekolah.
Ya mungkin terlihat tidak adil. Ingin kutegaskan bahwa keberhasilan sewaktu
kuliah tidak ditentukan nilai saja. Tapi mana mungkin ibu mengerti. "Ya
sudah, kata kakakmu sih kuliah memang sulit, nggak seperti SMA." Kali ini
aku terselamatkan oleh kakakku.
Aku terdiam, ibuku juga terdiam. Mungkin ia tahu aku nggak ingin membicarakan
masalah itu. Tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Ada perasaan gusar yang sulit dijelaskan. Aku
tahu, itu tentang ibuku.
"Oh ya Yan, minggu depan pulang lagi ya, kan ada peringatan maulid nabi."
"Aduh, kayaknya nggak bisa Bu soalnya Ryan harus mengerjakan laporan. Ibu tahu
sendiri kan
disini nggak ada komputer." "Emhhhh," gumam ibuku pendek.
Kulihat ada gurat kekecewaan di wajahnya.
Kurasa ibu memaklumi. Itu terlihat ketika ia mengarahkan pandangannya kembali
ke arah televisi. Tapi aku tahu, pikirannya tidak ada dalam sinetron yang ia
tonton.
Malam telah larut dan sampai sejauh itu aku belum bisa memejamkan mata. Ada perasan gelisah. Jam
dinding di kamar tanpa henti berdetak memecah kesunyian. Aku tak tahu jam
berapa sekarang. Tapi yang kuyakini, pasti tengah malam lebih.
Aku bangkit dari tempat tidur, mungkin sholat malam dapat menenangkan
pikiranku. Kudengar kentongan kampung tetangga ditabuh dua kali, pertanda waktu
menunjukkan pukul dua. Aku tak tahu siapa yang rajin menabuh kentongan tiap
malam. Padahal sekarang sudah jarang kampung yang mengadakan siskamling.
Orang-orang lebih senang tidur di rumah, menjaga rumahnya masing-masing.
Baru saja akan melangkah ke kamar mandi mengambil air wudhu, aku dikagetkan
suara tertahan karena tangis dari mushalla kecil tak jauh dari kamar mandi.
Suara ibuku. Aku berhenti sebentar, aku tak ingin suara air mengganggu
kekhusukan do?a ibuku.
"Ya Allah puji syukur padamu yang telah memulangkan anakku di hari
ulangtahunku. Walaupun ia mungkin lupa hari ini, karena terlalu sibuk belajar
dengan kuliahnya. Tapi aku tetap bersyukur padamu ya Allah. Engkau memberi kado
terindah di hari ulang tahunku. Ya Allah, sebagaimana engkau pulangkan anakku
hari ini dengan indah. Bimbinglah ia dalam menghadapi masa-masa sulit di
perkuliahan. Berikan perlindungan-Mu terhadap anakku dalam menjalani aktivitas,
yang jauh dariku ya Allah. Hanya itu permintaanku."
Deg. Hatiku hancur remuk. Terjawab kegelisahan yang menghantuiku. Aku menyesali
diri yang lupa hari ulangtahun ibuku. Walaupun di keluargaku tak ada kebiasaan
merayakan ulang tahun, tapi aku tak pernah lupa mengucapkan selamat ulang tahun
kepada ibuku setiap 21 Mei dengan kado kecil.
Tapi hari ini, bagaimana mungkin aku lupa hari ini 21 Mei 2006, ulang tahun ke
50 ibu. Aku tak bisa menyembunyikan emosiku. Aku menyesal mengapa dua bulan ini
tak pernah membuka buku agendaku, dimana 21 Mei kulingkari spidol merah.
Aku terlalu sibuk dengan kuliah. Yang mungkin lebih aku sesalkan mengapa di
terminal aku tak membeli sandal seharga 5000 rupiah, sandal yang kupikir cocok
dipakai ibu saat di kamar. Mengapa tadi aku lebih memilih membelikan sisa
uangku untuk membeli mie goreng di pinggir jalan. ***


03.20
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar