Ketika Tuhan Berjubah Putih
Cerpen: Sofie Dewayani
Masjid
kami seperti gua muram yang terasing dari gegap-gempita keriangan menjelang Natal . Hanya di masjid
ini, orang berjalan gegas menyelamatkan badan dari gigitan angin dingin yang
nakal. Masjid ini tempat berteduh sesekali, sedangkan toko dan mall di luar sana kemayu oleh dekorasi
warna-warni, kerlip lampu serupa ceria kembang api, juga arus pembeli yang
bagai tak mati-mati.
Tentu
tak ada yang memikat dari masjid sepi. Karenanya kami mengunjunginya seperti
membagi basa-basi. Tak hanya sekali dua kali, kami terdampar di tengah sesak
arus pembeli di toko-toko yang wangi. Bagaimana bisa memalingkan mata dari
kenikmatan berbelanja, di hamparan pajangan benda-benda menggugah selera yang
harganya menggoda?
Begini.
Sebenarnya saya mengidamkan mantel tebal warna ungu, yang harganya tak pernah
terjangkau saku. Mantel lama saya semakin menipis tampaknya, dengan lapisan
busa yang menua. "Namanya juga mantel loak. Boleh dong, sekali-kali saya
beli barang baru," rayu saya.
Suami
saya hanya tersenyum saja, tahu tabiat saya. Oh, dia juga sedang bermimpi
ternyata. Idamannya kamera digital merek terbaru yang didiskon seratus lima puluh dolar dari
harga semula! Tunggu hingga usai Natal ,
saat semua obral jatuh ke titik terendah, kata saya.
Saya
tak tahu anak-anak mengidamkan apa. Saya tak berani bertanya. Saya bukannya tak
melihat mata-mata kecil penuh harap yang diterpa kilau etalase kaca.
Boneka-boneka Santa Claus di sana
menyapa jenaka dari tumpukan mainan aneka rupa. Ya. Ini Natal, musim belanja
saat anak boleh bermimpi setahun sekali. Namun anak-anak saya tahu diri bahwa
mereka hanya boleh menyaksikan semuanya dari tepi. Memang, mereka pasti akan
merecoki saya dengan pertanyaan yang itu-itu lagi,
"Nanti
Santa Claus akan datang kemari?"
"Nggak
dong, Sayang. Kita kan nggak merayakan Natal ."
Tetapi,
kemarin si bungsu melontarkan pertanyaan yang tak biasa,
"Lalu
kenapa ibu ikut-ikutan belanja Natal ?"
Saya
tertawa (salah-tingkah, sebenarnya).
"Nggak
kok, hanya melihat-lihat saja."
Dia
diam, namun wajahnya tampak tak terpuaskan oleh jawaban saya. Ah, apa yang bisa
saya katakan kepada bocah empat tahun? Suatu saat nanti dia akan mengerti seni
belanja yang nikmat oleh sensasi menghemat. Ya, kendali bisnis tak bisa kita
hindari. Tetapi apa salahnya membeli mimpi setahun sekali?
Natal
sudah dua hari lewat. Namun pagi ini, rupanya anak-anak masih menyimpan auranya
di meja makan. Awalnya, putri kecil saya bercerita tentang temannya yang
mendapat hadiah perangkat Barbie dengan aksesoris pewarna rambut. Entah
bagaimana, adiknya menyahut,
"Kenapa
kita nggak punya Santa Claus?"
"Karena
kita nggak merayakan Natal ."
"Kenapa
Tuhan kita nggak seperti Santa Claus?"
Kakaknya
terdiam. Ditatapnya saya yang pura-pura sibuk mengolesi roti panggang.
"Kan
Tuhan sudah beri adik semuanya?" kata saya. Klise, seperti biasa. Entah
mengapa, pagi ini selai stroberi memucat warnanya. "Udara, buku-buku
cerita, juga semua makanan yang adik suka...." Saya berdiri tergesa. Saya
tahu jawaban saya seperti mengambang di udara. "Iya sih, semuanya.
Kecuali... mainan mobil remote control yang aku minta," sahutnya, sambil
menopang dagunya.
"Soalnya,
kamu nggak pernah mengucapkannya dalam doa...!" sahut kakaknya tiba-tiba.
"Katanya
Tuhan maha tahu segalanya? Jadi, nggak perlu bicara keras-keras, kan ?" kilah
adiknya. Saya menyembunyikan senyum, saat kemudian saya dengar dia berkata,
"Aku
mau Tuhanku berbaju merah lucu dan selalu tersenyum seperti Santa Claus itu.
Jubah putih Tuhan jelek dan nggak lucu. Dia juga nggak pernah tersenyum
kepadaku."
Saya
mengernyitkan kening. Jubah putih?
"Nggak
perlu mendebatnya. Imajinasi liarnya itu bukan tandingan kita. Nanti dia akan
mengerti juga," Suami saya berkata di benak saya. Kadang-kadang, rasanya
memang tak sabar menunggu anak-anak cepat dewasa. Saya nyalakan keran air.
Piring bekas sarapan tiba-tiba sudah menumpuk saja. Teman saya, seorang aktivis
gereja, bercerita bahwa dia tak berbelanja Natal tahun ini.
"Di
sini, Natal
sudah kehilangan makna. Saya ingin, anak-anak merayakan Natal dengan sederhana saja," katanya.
Saya
tersenyum saat itu, mengiyakannya. Saya ingin berkata, bahwa hura-hura belanja
seperti ini membuat harga banyak barang jadi terjangkau untuk pendatang seperti
saya. Namun tentu saya diam saja. Tiba-tiba, saya merasa bersalah sudah latah
menodai hari suci yang berharga baginya.
Ah,
siapa peduli. Lagipula mantel ungu itu diobral lagi hingga tiga puluh persen.
Saya melihatnya di iklan televisi pagi ini. Setelah makan siang, kami berbenah
cepat-cepat. Saya menelepon suami, mengingatkannya tentang rencana belanja hari
ini. Lima belas
menit kemudian, kami sudah menjemputnya di kampus. Jalanan seperti berkilau
oleh hujan es semalam.
Dingin
menggigit tulang. Embun menggenangi kaca mata suami saya saat digantikannya
saya di belakang kemudi. Dia memutar kunci. Namun, mobil tak menggerung sama
sekali. Bahkan semua lampu mati. Dua kali, tiga kali, hingga entah berapa kali
kunci itu dihentakkan. Sia-sia. Kini, penantian berganti keluh dan umpat.
Anak-anak meratap, merutuki hawa dingin mobil tanpa penghangat.
"Padahal
aki mobil ini baru diganti," cetus suami putus asa. Saya menggigil bukan
karena dingin. Terhempas dari penantian panjang itu seperti terjatuh di jalanan
berlapis es yang licin. Suami saya menelepon perusahaan asuransi. Mobil derek
akan datang tak lama lagi. Saat saya gandeng anak-anak ke halte bis, mereka
menangis. Pipi mereka memerah tak terlindung dari gigitan angin dingin yang
garang. Saya mengumpat dalam-dalam, menyesali reklame obral besar-besaran yang
seperti sengaja terpampang nyalang.
Hah,
kurang ajar!
Mobil
kami masih menginap di bengkel hingga hari ini. Aneh, tak biasanya ia berulah
seperti ini. Aki sudah diganti yang baru, namun masalahnya bukan itu. Kemarin,
teknisi bengkel meminta suami saya untuk membeli busi baru.
"Apa
dia yakin masalahnya itu?" Saya tatap suami saya, ragu.
"Yah,
kita turuti saja. Siapa tahu?"
"Siapa
tahu gundulmu!"
Dua
ratus dolar sudah tandas, bukan untuk kamera digital, atau mantel ungu baru!
"Ya
sudah.... Memang obral Natal
kali ini jatah mobil kita." Getir tak tersembunyi dari tawa suami saya.
Dan dia tak berani menatap mata saya. Jumat ini, masjid masih sepi. Entah
hening apa yang tak mau pergi, saat gempita Natal tak lagi mengepung kota ini. Saya sedang membantu putri saya
melepas mantelnya ketika saya sadari si bungsu tak lagi berdiri di sisi. Saya
melihat sekeliling, dia bahkan tak terlihat di sudut mana pun juga. Saya hendak
memanggil suami saya ketika pintu lorong terbuka. Imam masjid, yang asli Irak
itu, muncul dari sana ,
membimbing anak saya. Senyum mengembang di balik janggut tebalnya. Anak saya
mencengkeram jubah putihnya, dan tangan kirinya menggenggam lolipop merah muda.
Melihat matanya yang basah, saya tersenyum lega.
"It's
okay. Tadi dia menangis kebingungan di depan pintu," kata Imam sebelum
berlalu.
Si
bungsu menghambur memeluk saya, tangisnya pecah. Suami saya, entah dari mana
datangnya, menggendongnya. Tangis si bungsu reda di pelukan ayahnya.
"Tadi
aku diselamatkan oleh Tuhan, dan dia memberiku ini," katanya sambil
mengangkat lolipopnya tinggi-tinggi.
Suami
saya menatap saya tak mengerti. Saya tersenyum geli. Jadi Tuhan berjubah putih
itu....
Si
bungsu meneruskan celotehnya tentang Tuhan, dan tiba-tiba saya terhenyak. Duh,
saya nyaris menjelma bocah empat tahun. Hampir saja saya memakaikan mantel ungu
itu pada Tuhan.***


00.51
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar