HOT

seputar kabar terbaru dari dunia handphone

Rabu, 28 September 2011

Ke Negeri yang Jauh


Ke Negeri yang Jauh
Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Soya, sebuah perkampungan, yang sulit dikenal oleh peta. Tapi, aku Siti Aisyah pernah tinggal di sana, tiga belas tahun yang lampau. Sebab orang tuaku yang dokter pernah bertugas di sana.
Pagi ini, kala membaca berita di headline koran, aku jadi cemas, dua belas orang tewas dibunuh di Soya. Sungguh, aku berharap, Albert pada waktu itu, tidak sedang pulang kampung.
Aku selalu ingat, rumah kami berdekatan. Karena itu kami sama-sama berangkat dan pulang sekolah. Aku ingat jelas, Albert itu sangat hitam, tapi di matanya selalu kuketemukan kejenakaan.
Sesungguhnya, kami baru kontak lagi setahun yang lampau. Secara tidak sengaja. Waktu itu, atas undangan kakakku, Yus, aku jalan-jalan ke Sydney. Ketika aku jalan-jalan sendirian di Darling Harbour dan memandangi ferry yang mondar-mandir, aku tiba-tiba ingat Albert! Kami pernah bersurat-suratan sewaktu di SMA dan kemudian terputus. Pada waktu itu, dia sempat mengirim fotonya yang seperti "Michael Jordan". Dan aku taruh foto itu sampai hari ini, di atas meja belajarku!
Calon suamiku, Fiqih (rencananya kami akan menikah sebelum aku berangkat PTT), tidak pernah menanyakan foto itu lagi. Aku juga tidak pernah bercerita tentang Michael Jordan-ku. Kuanggap, dia bagian paling privat dari bilik masa lampau pribadiku, yang enggan kubagi pada siapa pun.
Waktu itu, di tengah kesibukan ferry yang mengangkut penumpang (aku penumpang yang kesepian di sini), Albert seperti diturunkan dari langit. Jadinya, kami seperti anak-anak yang bahagia. Pertemuan ini sangat singkat. Cuma semalam, karena besoknya, dia harus berlayar ke negeri jauh. (Dia memang seorang pelaut). Tapi, pada saat itu, dia sempat bercerita tentang istrinya, yang bermata cokelat, dan aku sempat juga bercerita tentang Fiqih, seniorku di Fakultas Kedokteran. (Sebelum dia berangkat kami berjanji akan tetap menjadi sahabat bagi yang lainnya).
Sesungguhnya, aku sudah lama merencanakan, setelah lulus dari fakultas kedokteran ini, aku tugas PTT di sana, di Ambon. Karena itu, beberapa minggu yang lampau, aku dan Albert sepakat, akan jalan-jalan lagi di bawah pohon di Soya, melihat burung-burung. Yah, aku jadi ingat ketika lulus SD dan harus berpisah, karena aku ikut orang tuaku pulang ke Jawa. Kami bersumpah akan menjadi sahabat. Untuk kesepakatan itu, kami menggoreskan darah dan Albert melarangku menangis.
"Aku akan datang ke Jawa melihatmu kalau aku sudah besar dan sudah menjadi pelaut. Aku akan bawakan kamu manisan buah pala."
Aku menggelengkan kepala keras-keras.
"Aku tidak suka manisan pala."
"Oh ya, kalau begitu aku mesti bawakan kamu apa?"
"Perahu cengkeh!"
"Apa! Perahu cengkeh katamu?"
Albert melihatku, "Harga perahu cengkeh itu, kata Papa mahal!"
"Kalau begitu, kita belinya paruhan ya?"
Dan pada waktu itu aku titipkan uang seribu rupiah, sebagai tanda bahwa aku sudah memberikan separo dari harga perahu cengkeh tersebut.
Perahu cengkeh itu datang minggu yang lampau, ketika aku berulang tahun.
***
OBSESIKU minggu-minggu ini, sering tentang masa kecilku (aku dan Albert). Kita bersama, pada waktu itu mengkhayalkan, akan pergi ke satu negeri, "A place for us". Di sana, sering kami bayangkan, kami berdua masih tetap kelas 3 SD, kami berjalan-jalan, sesuai dengan kesepakatan. Mengunjungi rumah cokelat, yang dibuat oleh seorang nenek sihir untuk membujuk anak-anak itu. Tapi kami bukan Hans dan Gretel, yang bisa terjebak oleh nenek sihir tersebut. Kami bisa menghalau nenek sihir tersebut. Dan menikmati rumah-rumah yang terbuat dari cokelat.
Untuk semua rencana itu kami pernah menyusun dalam lembaran kertas yang kami sobek dari buku tulis kami, yang bergaris-garis dan bergambar Donal Bebek. Menaruhnya dalam peti kayu dan kami tanam di bawah pohon kayu putih yang ada di bukit sana.
Kami memang merencanakan untuk merealisasi mimpi kami dengan berani. Tentu saja, tidak akan ada rumah cokelat, nenek sihir, dan kuda putih. Buat kami itu sudah tidak penting. Kami cuma ingin napak tilas, melewati jalan-jalan itu. Memang semuanya bisa berubah, namun kami menganggap kenangan kami tidak akan berubah.
Enam bulan yang lampau secara hampir beraturan, kami membicarakan hal itu lewat e-mail. Dan dalam salah satu suratnya, Albert berkata:
Dear, Siti Aisyah, aku akan ke Soya lebih dahulu untuk melihat surat perjanjian kita yang ada di bawah pohon itu (kebetulan kapalku berlayar ke sana). Kita akan atur lagi kapan kita bisa bertemu. Kau kan ingin PTT di sana, sedang aku juga akan mengatur waktu sesuai dengan jadwalku. Margaretha istriku, terbahak-bahak mendengar rencana gila ini. Dan kau bilang 'kan dalam suratmu, Fiqih cuma tertawa kala dia mendengar kita berdua akan merealisasi mimpi kanak-kanak.
Albert.
Sesungguhnya, orang tuaku dan Fiqih agak keberatan dengan rencana-rencanaku yang mereka anggap gila. Menurut mereka, Ambon belum benar-benar aman. Sebagai hadiah kelulusanku dari Fakultas Kedokteran, mereka ingin mengirimku dan Fiqih liburan di Sydney. Mereka menganggap sudah waktunya, aku mengunjungi kakakku bersama Fiqih, sebelum kami menikah dan punya anak. Mereka juga menginginkan kami bisa belajar di sana setelah menikah.
Aku suka sekali memang jalan-jalan ke Sydney. Tapi, aku merasa sebelum menikah ada sebuah periode yang harus aku lewati. Aku juga tahu sekali, bahwa ketika aku menjadi istri, aku akan menghadapi banyak masalah. Bisa jadi, aku bersama Fiqih akan sulit bertemu di dalam satu titik pikiran. Kakak perempuanku bilang, bahwa untuk penyesuaian diri, ketika kita hidup bersama dengan orang yang sungguh-sungguh tidak kita kenal, kita butuh waktu! Karena pada saat itu, pasti dan tidak jarang, kita saling terluka.
Aku tidak akan pernah kawin dengan dewa. Aku tahu itu. Fiqih pasti punya kekurangannya. Aku mungkin tidak seperti Siska, sahabatku yang sangat romantis ketika dia harus menjadi pengantin. Buatku pernikahan bukanlah hal yang istimewa sekali. Ini sebuah proses dari diriku.
Albert sendiri menganggap pernikahannya dengan Margaretha cuma proses untuk saling menghargai. Margaretha berkata kepadanya sebelum dinikahi, "Ini ketertarikanku kepadamu. Dan aku sudah tahu ketertarikanmu kepadaku. Seperti banyak hal di dunia ini, tidak ada yang kekal. Namun aku harap, kita akan tetap menjadi sahabat seperti persahabatanmu dengan Siti Aisyah."
Sesungguhnya, aku sendiri heran mengapa saat-saat ini aku sering teringat tempat masa-masa kecilku, ketika aku percaya bahwa dunia ini seperti rumah-rumah coklat, Peter Pan, Kapten Hook serta akulah Wendy-nya. Aku sering bayangkan dulu, bahwa kita (aku dan Albert) akan bisa lewat pelangi dan jalan-jalan di seputar pelangi. Kalau capek, kita akan pulang ke rumah. Minum teh panas yang dibuatkan oleh Ibu kami.
***
KUPERSIAPKAN dengan sangat bahagia, PTT-ku ke Ambon. Sekalipun banyak orang bilang ini sebuah ide yang sangat gila. Sementara itu, Albert dalam e-mail terakhirnya, juga mengatakan akan berhenti sementara sebagai pelaut. Dia mendapatkan pekerjaan di darat, agar kami bisa menyelesaikan mimpi-mimpi kami dulu. Oleh karena itu, ketika aku melambaikan tangan kepada mama, orangtuaku menangis. Fiqih tidak mau mengantarkanku (aku baru dua bulan menjadi pengantin). Dia menganggap, keinginanku untuk PTT ke Ambon sebetulnya bisa dirubah. Kami bertengkar tentang ini. Dia menganggap sebaiknya aku mengambil spesialis dulu agar mendapatkan penempatan yang lebih baik. Dia khawatirkan aku akan mati ditembak senapan-senapan nyasar.
Dalam pesawat yang menerbangkan aku ke Kota Ambon, aku sudah mulai membayangkan jalan-jalan di atas pelangi (aku seperti mendengarkan puisi-puisi cinta Khalil Gibran, Sapardi Djoko Darmono, dan lagu kesukaan Mama "Love is a Many Splendour Things").
Seperti yang kuduga, Albert sudah menjemputku di bandara. Ketika masuk ke kota Ambon aku menangis dan ingin sekali pulang. Suasananya begitu tegang dan lengang. Albert bilang, kemarin malam ada perkelahian antara Kopassus dan polisi, sehingga penduduk takut untuk keluar. Aku mungkin seorang pengkhayal yang berat. Aku betul-betul takut. Meskipun Albert bilang, setelah ini kami akan menyelesaikan mimpi kami bersama.
Pagi ini, aku bersama Albert pergi ke Soya, tempat masa kecil kami. Semuanya seperti tidak berubah. Tetangganya banyak yang tetap. Dan kuketemukan Oma Mari (nenek Albert) masih tetap seperti dulu, sangat tua dan suka tertawa. Tapi, rasanya memang ada yang ganjil. Tetanggaku tidak bicara lepas seperti dulu. Dan aku menangkis pikiranku sendiri, bahwa mungkin kekakuan ini karena kita sudah lama tidak bertemu, bukan karena perbedaan agama, yang menjadi konflik di negeri ini. Dan seperti membaca pikiranku, Albert berkata, "Sebetulnya, tidak ada perbedaan agama, yang ada adalah politik yang kotor! Oleh karena itu, aku tidak pernah setuju kerukunan agama di antara kita harus diporak-porandakan, oleh politik. Kau masih ingat 'kan ketika keluargaku mengunjungi keluargamu, ketika lebaran dan keluargamu mengunjungi keluargaku pada hari-hari Natal! Itulah mimpi-mimpi yang indah bagi kami di Soya ini."
Aku cuma bisa mengiyakan.
Pada saat ini juga, aku sudah merasa dalam perjalanan yang panjang. Padahal, perjalanan itu akan kami lakukan besok pagi. Kami akan menyelusuri hutan itu, pantai, lewat pelangi. Ketemu Kapten Hook, Peter Pan, dan akulah Windy-nya yang selalu menemani Peter Pan, dalam kesulitannya.
***
ITU adalah perjalananku yang paling mengesankan dengan Albert. Setelah itu kami mencoba menghormati pernikahan ini. Khususnya pernikahanku dengan Fiqih. Jadi setelah dua tahun di Ambon, aku kembali ke Jawa, mengambil Spesialis Anak-anak. Dan di tengah-tengah kesibukanku sebagai dokter anak, ibu dari seorang anak, sekali-sekali, aku masih berkirim kabar lewat e-mail, pada Michael Jordan, Albertku yang pelaut itu. ***



Catatan:
PTT adalah wajib kerja pagi para lulusan kedokteran.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews