Ke Negeri yang Jauh
Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim
Soya, sebuah perkampungan, yang sulit dikenal oleh peta. Tapi, aku Siti
Aisyah pernah tinggal di sana, tiga belas tahun yang lampau. Sebab orang tuaku
yang dokter pernah bertugas di sana .
Pagi
ini, kala membaca berita di headline koran, aku jadi cemas, dua belas
orang tewas dibunuh di Soya. Sungguh, aku berharap, Albert pada waktu itu,
tidak sedang pulang kampung.
Aku
selalu ingat, rumah kami berdekatan. Karena itu kami sama-sama berangkat dan
pulang sekolah. Aku ingat jelas, Albert itu sangat hitam, tapi di matanya
selalu kuketemukan kejenakaan.
Sesungguhnya,
kami baru kontak lagi setahun yang lampau. Secara tidak sengaja. Waktu itu,
atas undangan kakakku, Yus, aku jalan-jalan ke Sydney . Ketika aku jalan-jalan sendirian di Darling Harbour dan memandangi ferry yang
mondar-mandir, aku tiba-tiba ingat Albert! Kami pernah bersurat-suratan sewaktu
di SMA dan kemudian terputus. Pada waktu itu, dia sempat mengirim fotonya yang
seperti "Michael Jordan". Dan aku taruh foto itu sampai hari ini, di
atas meja belajarku!
Calon
suamiku, Fiqih (rencananya kami akan menikah sebelum aku berangkat PTT), tidak
pernah menanyakan foto itu lagi. Aku juga tidak pernah bercerita tentang Michael
Jordan-ku. Kuanggap, dia bagian paling privat dari bilik masa lampau pribadiku,
yang enggan kubagi pada siapa pun.
Waktu
itu, di tengah kesibukan ferry yang mengangkut penumpang (aku penumpang
yang kesepian di sini), Albert seperti diturunkan dari langit. Jadinya, kami
seperti anak-anak yang bahagia. Pertemuan ini sangat singkat. Cuma semalam,
karena besoknya, dia harus berlayar ke negeri jauh. (Dia memang seorang
pelaut). Tapi, pada saat itu, dia sempat bercerita tentang istrinya, yang
bermata cokelat, dan aku sempat juga bercerita tentang Fiqih, seniorku di
Fakultas Kedokteran. (Sebelum dia berangkat kami berjanji akan tetap menjadi
sahabat bagi yang lainnya).
Sesungguhnya,
aku sudah lama merencanakan, setelah lulus dari fakultas kedokteran ini, aku tugas
PTT di sana , di
Ambon. Karena itu, beberapa minggu yang lampau, aku dan Albert sepakat, akan
jalan-jalan lagi di bawah pohon di Soya, melihat burung-burung. Yah, aku jadi
ingat ketika lulus SD dan harus berpisah, karena aku ikut orang tuaku pulang ke
Jawa. Kami bersumpah akan menjadi sahabat. Untuk kesepakatan itu, kami
menggoreskan darah dan Albert melarangku menangis.
"Aku
akan datang ke Jawa melihatmu kalau aku sudah besar dan sudah menjadi pelaut.
Aku akan bawakan kamu manisan buah pala."
Aku
menggelengkan kepala keras-keras.
"Aku
tidak suka manisan pala."
"Oh
ya, kalau begitu aku mesti bawakan kamu apa?"
"Perahu
cengkeh!"
"Apa!
Perahu cengkeh katamu?"
Albert
melihatku, "Harga perahu cengkeh itu, kata Papa mahal!"
"Kalau
begitu, kita belinya paruhan ya?"
Dan
pada waktu itu aku titipkan uang seribu rupiah, sebagai tanda bahwa aku sudah
memberikan separo dari harga perahu cengkeh tersebut.
Perahu cengkeh itu datang minggu yang lampau, ketika aku berulang tahun.
***
OBSESIKU
minggu-minggu ini, sering tentang masa kecilku (aku dan Albert). Kita bersama,
pada waktu itu mengkhayalkan, akan pergi ke satu negeri, "A place for
us". Di sana ,
sering kami bayangkan, kami berdua masih tetap kelas 3 SD, kami berjalan-jalan,
sesuai dengan kesepakatan. Mengunjungi rumah cokelat, yang dibuat oleh seorang
nenek sihir untuk membujuk anak-anak itu. Tapi kami bukan Hans dan Gretel, yang
bisa terjebak oleh nenek sihir tersebut. Kami bisa menghalau nenek sihir
tersebut. Dan menikmati rumah-rumah yang terbuat dari cokelat.
Untuk
semua rencana itu kami pernah menyusun dalam lembaran kertas yang kami sobek
dari buku tulis kami, yang bergaris-garis dan bergambar Donal Bebek. Menaruhnya
dalam peti kayu dan kami tanam di bawah pohon kayu putih yang ada di bukit sana .
Kami
memang merencanakan untuk merealisasi mimpi kami dengan berani. Tentu saja,
tidak akan ada rumah cokelat, nenek sihir, dan kuda putih. Buat kami itu sudah
tidak penting. Kami cuma ingin napak tilas, melewati jalan-jalan itu. Memang
semuanya bisa berubah, namun kami menganggap kenangan kami tidak akan berubah.
Enam
bulan yang lampau secara hampir beraturan, kami membicarakan hal itu lewat e-mail.
Dan dalam salah satu suratnya, Albert berkata:
Dear, Siti Aisyah, aku akan ke Soya lebih dahulu untuk melihat surat perjanjian kita yang ada di bawah pohon itu
(kebetulan kapalku berlayar ke sana ).
Kita akan atur lagi kapan kita bisa bertemu. Kau kan ingin PTT di sana, sedang
aku juga akan mengatur waktu sesuai dengan jadwalku. Margaretha istriku,
terbahak-bahak mendengar rencana gila ini. Dan kau bilang 'kan dalam suratmu, Fiqih cuma tertawa kala
dia mendengar kita berdua akan merealisasi mimpi kanak-kanak.
Albert.
Sesungguhnya,
orang tuaku dan Fiqih agak keberatan dengan rencana-rencanaku yang mereka
anggap gila. Menurut mereka, Ambon belum
benar-benar aman. Sebagai hadiah kelulusanku dari Fakultas Kedokteran, mereka
ingin mengirimku dan Fiqih liburan di Sydney. Mereka menganggap sudah waktunya,
aku mengunjungi kakakku bersama Fiqih, sebelum kami menikah dan punya anak. Mereka
juga menginginkan kami bisa belajar di sana
setelah menikah.
Aku
suka sekali memang jalan-jalan ke Sydney .
Tapi, aku merasa sebelum menikah ada sebuah periode yang harus aku lewati. Aku
juga tahu sekali, bahwa ketika aku menjadi istri, aku akan menghadapi banyak
masalah. Bisa jadi, aku bersama Fiqih akan sulit bertemu di dalam satu titik
pikiran. Kakak perempuanku bilang, bahwa untuk penyesuaian diri, ketika kita
hidup bersama dengan orang yang sungguh-sungguh tidak kita kenal, kita butuh
waktu! Karena pada saat itu, pasti dan tidak jarang, kita saling terluka.
Aku
tidak akan pernah kawin dengan dewa. Aku tahu itu. Fiqih pasti punya
kekurangannya. Aku mungkin tidak seperti Siska, sahabatku yang sangat romantis
ketika dia harus menjadi pengantin. Buatku pernikahan bukanlah hal yang
istimewa sekali. Ini sebuah proses dari diriku.
Albert
sendiri menganggap pernikahannya dengan Margaretha cuma proses untuk saling
menghargai. Margaretha berkata kepadanya sebelum dinikahi, "Ini
ketertarikanku kepadamu. Dan aku sudah tahu ketertarikanmu kepadaku.
Seperti banyak hal di dunia ini, tidak ada yang kekal. Namun aku harap, kita
akan tetap menjadi sahabat seperti persahabatanmu dengan Siti Aisyah."
Sesungguhnya,
aku sendiri heran mengapa saat-saat ini aku sering teringat tempat masa-masa
kecilku, ketika aku percaya bahwa dunia ini seperti rumah-rumah coklat, Peter
Pan, Kapten Hook serta akulah Wendy-nya. Aku sering bayangkan dulu, bahwa kita
(aku dan Albert) akan bisa lewat pelangi dan jalan-jalan di seputar pelangi.
Kalau capek, kita akan pulang ke rumah. Minum teh panas yang dibuatkan oleh Ibu
kami.
***
KUPERSIAPKAN
dengan sangat bahagia, PTT-ku ke Ambon .
Sekalipun banyak orang bilang ini sebuah ide yang sangat gila. Sementara itu,
Albert dalam e-mail terakhirnya, juga mengatakan akan berhenti sementara
sebagai pelaut. Dia mendapatkan pekerjaan di darat, agar kami bisa
menyelesaikan mimpi-mimpi kami dulu. Oleh karena itu, ketika aku melambaikan
tangan kepada mama, orangtuaku menangis. Fiqih tidak mau mengantarkanku (aku
baru dua bulan menjadi pengantin). Dia menganggap, keinginanku untuk PTT ke Ambon sebetulnya bisa dirubah. Kami bertengkar tentang
ini. Dia menganggap sebaiknya aku mengambil spesialis dulu agar mendapatkan
penempatan yang lebih baik. Dia khawatirkan aku akan mati ditembak
senapan-senapan nyasar.
Dalam
pesawat yang menerbangkan aku ke Kota Ambon, aku sudah mulai membayangkan
jalan-jalan di atas pelangi (aku seperti mendengarkan puisi-puisi cinta Khalil
Gibran, Sapardi Djoko Darmono, dan lagu kesukaan Mama "Love is a Many
Splendour Things").
Seperti
yang kuduga, Albert sudah menjemputku di bandara. Ketika masuk ke kota Ambon aku menangis
dan ingin sekali pulang. Suasananya begitu tegang dan lengang. Albert bilang,
kemarin malam ada perkelahian antara Kopassus dan polisi, sehingga penduduk
takut untuk keluar. Aku mungkin seorang pengkhayal yang berat. Aku betul-betul
takut. Meskipun Albert bilang, setelah ini kami akan menyelesaikan mimpi kami
bersama.
Pagi
ini, aku bersama Albert pergi ke Soya, tempat masa kecil kami. Semuanya seperti
tidak berubah. Tetangganya banyak yang tetap. Dan kuketemukan Oma Mari (nenek
Albert) masih tetap seperti dulu, sangat tua dan suka tertawa. Tapi, rasanya
memang ada yang ganjil. Tetanggaku tidak bicara lepas seperti dulu. Dan aku
menangkis pikiranku sendiri, bahwa mungkin kekakuan ini karena kita sudah lama
tidak bertemu, bukan karena perbedaan agama, yang menjadi konflik di negeri
ini. Dan seperti membaca pikiranku, Albert berkata, "Sebetulnya, tidak ada
perbedaan agama, yang ada adalah politik yang kotor! Oleh karena itu, aku tidak
pernah setuju kerukunan agama di antara kita harus diporak-porandakan, oleh
politik. Kau masih ingat 'kan ketika
keluargaku mengunjungi keluargamu, ketika lebaran dan keluargamu mengunjungi
keluargaku pada hari-hari Natal !
Itulah mimpi-mimpi yang indah bagi kami di Soya ini."
Aku
cuma bisa mengiyakan.
Pada
saat ini juga, aku sudah merasa dalam perjalanan yang panjang. Padahal,
perjalanan itu akan kami lakukan besok pagi. Kami akan menyelusuri hutan itu,
pantai, lewat pelangi. Ketemu Kapten Hook, Peter Pan, dan akulah Windy-nya yang
selalu menemani Peter Pan, dalam kesulitannya.
***
ITU adalah
perjalananku yang paling mengesankan dengan Albert. Setelah itu kami mencoba
menghormati pernikahan ini. Khususnya pernikahanku dengan Fiqih. Jadi setelah
dua tahun di Ambon , aku kembali ke Jawa,
mengambil Spesialis Anak-anak. Dan di tengah-tengah kesibukanku sebagai dokter
anak, ibu dari seorang anak, sekali-sekali, aku masih berkirim kabar lewat e-mail,
pada Michael Jordan, Albertku yang pelaut itu. ***
Catatan:
PTT adalah wajib kerja pagi para lulusan kedokteran.
PTT adalah wajib kerja pagi para lulusan kedokteran.


22.41
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar