Kalung Tasbih dari Makkah
Cerpen: Anita Retno Lestari
Aku hanya bisa menangis menyesali kutukanku yang ternyata dikabulkan
Tuhan.... Suamiku mengalami gegar otak berat, kakinya patah, dan tulang
belakangnya remuk.
Sepulang
naik haji, ayah memberiku kalung tasbih yang katanya dibelinya di Makkah dan
pernah dibawanya memasuki Masjid Nabawi dan di depan Makam Rasulullah SAW ayah
berdoa semoga aku menjadi perempuan salehah yang bahagia di dunia dan akherat.
''Setiap
habis shalat, gunakan kalung tasbih ini untuk berdzikir,'' pesan ayah ketika
menyerahkan kalung tasbih yang kini selalu menemaniku ke mana pun aku berada.
Aku pun selalu menggunakan kalung tasbih itu untuk menghitung kalimat-kalimat
thoyibah yang kubaca sehabis shalat.
Dan,
setelah aku menikah, kalung tasbih itu tiba-tiba hilang. Seingatku, sebelum
hilang, kalung tasbih itu kuletakkan di dekat bantal ketika aku hendak tidur
dengan suamiku. Tapi, suamiku mengaku tak tahu menahu ketika aku mencari-cari
kalung tasbih yang raib itu.
''Mungkin
kamu lupa menyimpannya. Suatu ketika pasti ketemu lagi,'' ujar suamiku ketika
aku menunjukkan perasaan resah atas raibnya kalung tasbih itu.
''Sebaiknya
kamu membeli lagi kalung tasbih yang lebih besar, biar tidak mudah hilang,'' lanjut
suamiku.
Aku
tetap saja merasa resah atas hilangnya kalung tasbih dari Makkah itu. Setelah
aku membeli kalung tasbih dan menggunakannya untuk berdzikir, rasanya aku
selalu teringat kalung tasbih yang telah hilang itu, sehingga dzikirku tidak
pernah bisa khusyuk. Aku merasa bersalah kepada ayah yang kini telah almarhum.
Aku merasa telah gagal mempertahankan kalung tasbih dari Makkah itu sebagai
milikku.
''Apa
sih istimewanya kalung tasbih yang hilang itu, sehingga kamu tampak selalu
murung dan gelisah?'' tanya suamiku setelah satu pekan aku selalu murung dan
resah sejak kehilangan kalung tasbih dari Makkah itu.
''Kalung
tasbih itu bukan tasbih sembarangan, Mas. Almarhum ayah yang dulu membelinya di
Makkah, dan pernah dibawanya masuk ke Masjid Nabawi dan digunakan untuk
berdzikir di depan makam Rasulullah SAW,'' tuturku.
Suamiku
tersenyum. ''Kalau begitu justru kamu harus bersyukur atas hilangnya kalung
tasbih itu.''
Aku
terpana menatap tajam-tajam wajah suamiku. Tiba-tiba aku curiga, suamiku
mungkin sengaja membuang atau menyembunyikan kalung tasbih itu.
''Mungkin
jika kalung tasbih itu tidak hilang, suatu ketika bisa menjadi berhala yang
kamu puja-puja. Maka bersyukurlah karena kalung tasbih itu hilang.'' Suamiku
bicara dengan tersenyum-senyum.
''Maaf,
Mas. Benarkah Mas mencuri kalung tasbih itu agar aku tidak bisa menggunakannya
lagi untuk berdzikir?'' tanyaku.
Rasanya
aku pantas mencurigai suamiku karena justru tampak senang dengan hilangnya
kalung tasbih itu.
''Memangnya
aku berbakat menjadi pencuri?'' Suamiku balik bertanya dengan wajah tetap
berhias senyuman.
''Kalau
Mas tidak mencurinya, semoga yang mencurinya celaka!'' Aku mengutuk dengan
kesal.
Suamiku
terperanjat. ''Kamu telah mengutuk seseorang yang telah mengambil kalung
tasbihmu. Waduh, kamu telah berbuat kejam. Bagaimana jika kutukanmu dikabulkan
Tuhan?''
''Ah,
sudahlah, aku sudah terlanjur mengutuk, Mas. Yang penting bukan kamu yang
mencurinya.''
''Bagaimana
jika seumpama aku yang mencurinya?''
''Jadi,
benar bukan Mas yang mencuri kalung tasbih itu?''
Suamiku
mengangguk dengan tersenyum.
Aku
mendengus panjang, karena dadaku mendadak terasa sesak. Aku khawatir jika
kutukanku dikabulkan Tuhan. Dan, sejauh yang kuketahui, kutukan tidak bisa
dicabut jika sudah terlanjur diucapkan.
Lalu,
aku berdoa semoga kutukanku tidak dikabulkan Tuhan. Aku tidak ingin melihat
suamiku celaka, meskipun telah mencuri kalung tasbih dari Makkah yang kuanggap
sangat istimewa itu.
Sepekan
kemudian, sepulang kantor, suamiku mengalami tabrakan hebat. Suamiku dirawat di
ruang ICU. Mobilnya rusak berat. Dan aku hanya bisa menangis menyesali
kutukanku yang ternyata dikabulkan Tuhan meskipun aku sudah berusaha untuk
mencabutnya dengan doa-doa.
Ketika
aku membesuk suamiku di rumah sakit, aku minta maaf. Tapi suamiku diam saja.
Kini,
suamiku mengalami gegar otak berat, kedua kakinya patah, dan tulang belakangnya
remuk. Menurut dokter, kecil kemungkinan suamiku bisa pulih seperti sebelum
mengalami kecelakaan.
Setelah
tiga bulan dirawat di rumah sakit tapi suamiku belum juga pulih, aku kemudian
membawanya pulang. Aku ingin merawatnya di rumah.
Sungguh
berat merawat suami yang lumpuh dan tidak bisa bicara lagi. Sepanjang waktu
suamiku terbaring lemas di tempat tidur. Semua hajat hidupnya aku yang
mengurus. Untungnya, suamiku segera dipensiun dan mendapat uang pensiunan
sebesar 60 gaji terakhirnya. Dengan uang pensiunan itu kami berdua bisa hidup.
Suatu
siang, aku membersihkan gudang. Semua barang rongsokan yang menumpuk di gudang
kukeluarkan untuk kubuang ke tempat sampah.
Ketika
aku sedang menyapu lantai gudang, mataku menatap seuntai kalung tasbih dari
Makkah itu. Segera aku membersihkan kalung tasbih itu. Lalu kuperlihatkan
kepada suamiku.
Mata
suamiku langsung berkaca-kaca ketika menatap kalung tasbih itu. Bibirnya
bergerak-gerak tapi tidak mengeluarkan suara apa pun. Sepertinya suamiku
menangis di dalam hati.
Iba
aku melihat suamiku menangis. Pasti suamiku sangat menyesal telah
menyembunyikan kalung tasbih itu di gudang dan kemudian aku mengutuknya dan
ternyata kutukanku dikabulkan Tuhan.
Dan,
meskipun kalung tasbih itu sudah kutemukan lagi, aku tidak mau menggunakannya
untuk berdzikir. Aku teringat ucapan suamiku. Betapa kalung tasbih itu bisa
menjadi berhala, dan karena itu sebaiknya dibuang saja.
Lalu
aku membuang kalung tasbih dari Makkah itu ke tong sampah, bukan karena aku
khawatir menjadikannya sebagai berhala, melainkan karena aku memang sudah tidak
membutuhkannya lagi. Aku telah terbiasa berdzikir tanpa kalung tasbih.
Sekarang,
bagiku, berdzikir tidak perlu dihitung lagi, karena aku tidak menjualnya kepada
Tuhan!***


20.57
movingphone lampung
0 komentar:
Posting Komentar