Re-Setting Your Mind untuk Sukses
Untuk sukses, baik di
negeri sendiri apalagi di tanah rantau, re-setting pikiran dan perbuatan
sangatlah krusial. Bagaikan komputer, setiap kali hard disk sudah tidak
mencukupi, ada baiknya untuk di-upgrade. Juga ketika banyak “error” alias
“kegagalan” dalam hidup, ada baiknya untuk di-re-boot.
Re-setting mind adalah cara
yang paling jitu untuk bisa “mengubah nasib” dengan cara mengubah cara berpikir
dan perbuatan kita. Hampir sepuluh tahun yang lalu, ketika pertama kali saya
menginjakkan kaki di Berkeley, bisa dibilang saya adalah “orang kamso” yang
tidak mengerti apa-apa. “Culture shock” lah istilahnya, tahunya hanya jalan
kaki dari dormitory di Norton Hall
Durant Avenue ke kelas dan jalan-jalan weekend
saja. Semuanya asing sehingga saya tidak begitu bisa “menangkap” apa yang
terjadi di sekitar saya.
Sebenarnya, apa yang perlu
“ditangkap” adalah perubahan apa yang terjadi di dalam diri kita ketika
lingkungan kita berubah. Seperti sekarang harga BBM sudah tidak semanis dulu,
jalan raya sudah demikian macetnya sehingga polusi sudah demikian kelabunya,
serta keadaan politik yang sudah tidak menentu di tanah air. Ini semua adalah
perubahan. Jadi kalau Anda pergi merantau, Andalah yang mengunjungi perubahan,
kalau Anda tetap di tanah air, perubahanlah yang datang kepada Anda. Sama
saja, sama-sama perubahan inilah yang membuat Anda “mabok perubahan.”
Ada
orang yang secara psikis dan biologis menanggapi perubahan dengan keluh-kesah
dan depresi. Ada pula yang menanggapinya dengan antusiasme yang tinggi karena “misteri”
apa yang ada di ujung terowongan perubahan itulah yang menarik buatnya.
Bagaimana ending perjalanan perubahan inilah yang menarik.
Jadilah
yang kedua. Jika Anda adalah yang pertama (depresi), latihlah diri sendiri
dengan memperkuat batin. Jika Anda adalah orang yang religius, jangan
sekali-kali “meminta secara spesifik” dalam suatu bentuk yang Anda inginkan,
misalnya “Saya mohon agar dikabulkan permohonan saya yaitu satu rumah yang elok
dan gaji yang tinggi.” Namun, mintalah ke Yang Kuasa, “Mohon saya diberikan
kekuatan, ketabahan dan keberanian untuk menjalankan hidup ini sebaik mungkin.”
Rabindranath Tagore pernah
berkata, “Let me not pray to be sheltered from danger, but to be fearless in
facing them. Let me not beg to for the stilling of my pain, but for the heart
to conquer it.” Janganlah memohon untuk dilindungi dari bahaya, namun supaya
diberikan keberanian dalam menghadapinya. Janganlah memohon supaya rasa sakit
dihilangkan, namun supaya diberikan hati yang besar untuk menaklukkan rasa sakit
itu.
Di
perantauan, sebagaimana di tanah air, Teori Pareto 20-80 bekerja dengan jelas.
Hanya 20% dari perantau yang sukses, sisanya pulang kampung atau
termajinalisasi sebagai pariah. Mungkin tidak sebagai pariah dalam arti
sebenarnya, namun stuck di satu tempat karena masalah-masalah yang bersumber
dari kepribadiannya sendiri.
Mari
kita telaah.
Keyakinan
yang bersumber dari sumber-sumber yang salah kaprah, namun telah membentuk
kepribadian seseorang sedemikian dalamnya sehingga re-setting mind sudah merupakan
sesuatu yang almost impossible. Sebagai contoh, mind set bahwa seorang istri
adalah seorang “dependent” alias “yang tergantung” sudah merupakan konsep yang
kadaluwarsa. Ketergantungan emosional (sebagaimana pasangan suami istri dan
sahabat karib) bukanlah justifikasi yang benar untuk segala hal.
Sebagai
contoh, seorang istri yang memiliki kelebihan yang sangat tangible adalah juga
seorang manusia. Jadi, mengecilkan arti kelebihan seorang manusia adalah suatu
lelucon tidak lucu yang sangat tidak pantas dan sangat mengecilkan arti hakiki
seorang manusia. Jelas sebagai seorang istri ia punya ketergantungan emosional
dengan suaminya dan anak-anaknya, namun peran “istri” hanyalah satu dari sekian
banyak earned status (istilah antropologinya). Melihat seorang wanita hanya
sebagai “istri” adalah suatu konsep yang mungkin sudah ketinggalan zaman
ratusan tahun lamanya. Maka saran saya, lihatlah dunia dalam proporsinya.
Manusia
=> Wanita => Istri => Ibu
Manusia
=> Wanita => Berkarir => Berkarir di PT XYZ => Manager => Punya
Uang
Pandanglah
seseorang sebagai “manusia” dulu, yang identik statusnya dengan Anda. Ia
sama-sama punya darah dan daging, bisa sakit dan bisa mati suatu hari, terlepas
dari siapa pun status sosialnya. Jangan sebaliknya. Apalagi jika seseorang itu
orang “kaya”. Maka seakan-akan dia bukan lagi “manusia” karena segala
pernak-perniknya yang bermerek.
Re-set
your mind untuk hal-hal yang bersumber dari salah kaprah. Jangan biarkan hidup
dalam kesalahkaprahan terus-menerus. Ibaratnya seperti Anda melihat gajah,
jangan hanya belalainya saja, namun pandanglah luas keseluruhannya. Demikian
pula dalam hidup. Dalam melihat permasalahan atau sedang menarik kesimpulan,
jangan hanya mengambil satu segi saja.
Ada
juga beberapa sumber lainnya yang sama dahsyatnya dalam mengunci pikiran salah
kaprah kita, misalnya dari slogan-slogan, peribahasa, propaganda pemerintah,
dan lain-lain. Sebagai contoh yang paling jelas adalah Pancasila. Pancasila
“dipercaya” sebagai satu-satunya landasan negara yang paling bagus di seluruh
dunia. Apa benar?
Ini jelas salah kaprah.
Pandanglah Pancasila identik dengan landasan-landasan negara lain, buatlah
perbandingan yang seimbang tanpa memasukkan unsur-unsur perasaan. Obyektiflah
memandang Pancasila hanya sebagai salah satu bentuk landasan negara yang ada di
dunia. Bagaimana hasil perbandingan itulah yang
pantas untuk Anda ambil sarinya. Ambillah keputusan sendiri tentang kualitas
dan kredibilitas Pancasila dari hasil perbandingan itu, jangan dengan mudah
saja menelan “ini bagus” dan “paling bagus di seluruh dunia”.
Mungkin
benar Pancasila paling sesuai dengan kultur Indonesia, namun yang jelas
sangatlah congkak bagi kita untuk mengatakan bahwa Pancasila adalah landasan
negara yang paling bagus di seluruh dunia. Karena, dengan menyatakan demikian,
kita merendahkan landasan-landasan negara lain, termasuk negara-negara adidaya
yang paling cepat menurunkan tangan ketika tanah air kita mengalami bencana.
Juga ini berarti merendahkan negara-negara sahabat kita yang kita kasihi.
Jagalah
hubungan kita di dunia dengan orang lain karena bisa saja suatu hari kita
memerlukan mereka. Jangan congkak dengan cara memandang dunia yang sempit dan
tidak pada proporsinya.
See beyond what’s given to
you. Seek within. Seek without. Re-set your mind dengan cara melihat dunia
dalam proporsinya. Anda pasti bisa sukses dengan mind set yang seperti ini. Di
tanah air maupun di rantau.
* Jennie S. Bev adalah
konsultan, entrepreneur, educator dan penulis dari lebih dari 20 buku, 900
artikel and 1.200 resensi buku yang telah diterbitkan di USA, Canada, UK,
Germany, France, Singapore dan Indonesia.


17.07
movingphone lampung